-->

Minggu, 20 Juni 2010

Didik anak taat syariah

Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah.  Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup.  Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko.  Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak.  Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ‘sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu.  Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru.  Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur.  Ada saja alasan mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya.  Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat.  Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat.  Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam.  Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah.  Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak.  Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat.  Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.
Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua.  Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah.  Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah.  Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran.  Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan  asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya.  Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah.  Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap.  Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya.  Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
Kerjasama Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya.  Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan.  Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih.  Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat.  Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”
Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam.  Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim.  Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis.  Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak.  Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah

Mendidik anak menjadi pintar

Menjadi anak pintar bukanlah sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan saja. Melainkan ada beberapa faktor atau cara mendidik yang membuat seorang anak memiliki otak encer dibanding yang lain. Berikut beberapa hal yang disampaikan oleh MSNNews tentang seharusnya pendidikan yang didapat anak. Pendidikan yang saya sebut disini bukanlah formal di sekolah. Melainkan yang harus dilakukan orang tua di rumah. Berikut beberapa cara yang membuat anak dapat menjadi lebih pintar dibanding yang lain :
Bermain musik
Cara ini dapat merangsang pertumbuhan otak kanan. Dan dari studi yang dilakukan oleh universitas Toronto, ini dapat meningkatkan IQ dan nilai akademis anak. Bintang pernah membaca sebuah artikel kenapa orang zionis israel menjadi pintar. Salah satunya adalah sejak masih dini mereka sudah dilatih konsentrasinya dengan bermain Piano.
Mengembangkan rasa ingin tahu anak
Pendidikan yang sukses karena anak pintar selalu ingin tahu akan hal baru. Maka daripada itu sejak kecil biasakan anda sebagai orang tua harus selalu menunjukkan rasa ingin tahu kepada anak.
Dengan begitu anda tidak perlu menyuruh anak untuk belajar ini itu. Karena dia sendiri yang akan penasaran. Otomatis dengan semakin banyak yang dia pelajari akan membuatnya menjadi pintar. Cara mendidik yang baguskan?
Budayakan membaca
Dengan kegiatan membaca akan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan perkembangan kognitif anak. Lalu bagaimana cara untuk melakukannya? Membacakan dongeng untuk anak bisa menjadi salah satu jalan keluar. Cara lain, berikan anak hadiah sebuah buku yang dapat menarik perhatiannya.
Apalagi sekarang sudah zaman internet, mengapa tidak gunakan itu senjata dalam mendidik? Internet sudah terbukti cara ampuh untuk membuat orang sering membaca. Tentu saja karena ini untuk pendidikan anak untuk menjadi pintar, harus tetap ditemani oleh Orang Tua.
Kepercayaan diri
Mendidik anak pintar yang baik adalah membuatnya percaya diri dan selalu optimis bahwa dia bisa melakukan sesuatu. Salah satu cara adalah berpatisipasi dalam kegiatan olahraga maupun sosial dapat membantunya.Dan jangan sekalipun mendidik anak sehingga dia menjadi tidak PD.
Salah satu contoh adalah Ketika seorang ibu mengkritik gambar anaknya karena langitnya berwarna merah bukan biru. Sepertinya hal itu sepele. Tapi itu bukan pendidikan anak yang bagus. Karena anak jadi takut melakukan sesuatu karena salah. Dan manusia yang tidak pernah melakukan sesuatu bagaimana mungkin menjadi pintar.
Beberapa hal lain yang dapat membuat anak menjadi pintar adalah dengan tentu saja memberikan ASI, menyingkirkan makanan cepat saji dan memberikan makanan yang sehat, membiasakan berolahraga. Mudah-mudahan jika anda mendidik dengan pendidikan seperti cara diatas, anak bisa menjadi lebih pintar.

Beberapa cara mendidik anak yang kurang baik



Maaf jika hari ini saya lagi mood menulis artikel tentang pendidikan anak. Ini bukan dalam rangka apapun, tapi emang karena lagi mood aja :)

Dan maaf kalau ternyata teman-teman udah lebih tahu dari saya mengenai hal ini :)

Menurut saya, berikut adalah beberapa contoh dari cara mendidik anak yang kurang baik.

1. Jika anak terjatuh karena menyenggol meja, kita memukul mejanya dan mengatakan pada si kecil bahwa meja itu jahat.

atau:

kalau anak A memukul anak B sehingga si B menangis, kita akan (pura-pura) memukul si A di depan si B agar si B tidak menangis lagi.

Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia pendendam. Si anak juga akan terdidik untuk menjadi manusia yang tidak pernah merasa bersalah. "Pokoknya apapun yang terjadi, yang salah adalah orang lain, bukan saya!"

2. Kalau anak terjatuh, kita akan langsung menggendongnya dan melindunginya, bersikap seolah2 si anak baru saja mengalami musibah yang sangat besar.

Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia manja, yang tidak kuat menahan cobaan hidup. Mereka akan gampang menyerah jika menghadapi masalah.

Saya kira, biarkan sajalah kalau anak kita cuma jatuh biasa. Bilang bahwa jatuh itu biasa, dan yang ia alami tak perlu dikhawatirkan. Kecuali kalau jatuhnya keras sehingga kepalanya benjol, itu lain ceritanya, hehehehe...

3. Menakut-nakuti si anak akan adanya hantu.
Biasanya, cara seperti ini digunakan oleh orang tua jika anak mereka bandel atau tidak bisa diberitahu.

memang, dalam jangka pendek sikap seperti ini biasanya efektif. Tapi untuk jangka panjang, ini justru tidak baik. SI anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut. ia akan takut pada hantu, padahal hanti atau jin sebenarnya tak perlu ditakuti. Mereka adalah makhluk yang jauh lebih rendah dari manusia. Mulai sekarang, kita justru harus menamamkan pengertian pada anak bahwa hantu tak perlu ditakuti. Kita justru harus "anggap remeh" terhadap hantu.

4. Terlalu banyak melarang.
"Jangan nak, nanti kamu jatuh."
"Jangan main air dong, nanti masuk angin."
"Kok makannya belepotan gitu? Jorok tahu!"
"Itu nasi kok dibuang? Kan mubazir!"

Anak adalah jenis manusia yang sedang dalam proses belajar. Jadi wajar dong, kalau mereka sering melakukan kesalahan. Jika mereka membuang nasi misalnya, langkah terbaik bukanlah memarahi mereka dan mengatakan itu mubazir. Tapi alangkah baiknya jika kita memberitahu mereka dengan cara yang lebih menyenangkan, dan bisa diterima oleh pikiran mereka yang masih terbatas.

Terlalu banyak melarang juga akan mendidik anak menjadi manusia yang tidak berani mencoba hal-hal baru.

5. Menganggap si anak sebagai orang bodoh
Kita sering berkata, "Ah, anak kecil, Tahunya apa!"

Padahal, banyak anak kecil yang berhasil menunjukkan kehebatan mereka. Mereka berhasil membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang pintar dan hebat, walau usia masih amat muda.

Saya kira, kita harus menghargai eksistensi setiap anak, apalagi kalau anak sendiri! Kita justru harus memperlakukan mereka sebagai seorang manusia yang berpotensi. Kita tak pernah tahu persis, seberapa besar ilmu pengetahuan yang sudah tersimpan di kepala anak kita. Karena itu, jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh, belum tahu apa-apa, dan sebagainya.

Dengan memperlakukan mereka secara wajar, ini akan mendidik anak menjadi seorang manusia yang percaya diri sehingga ia akan lebih mudah meraih sukses.

6. Memarahi anak jika mereka bertanya
Mungkin kita punya anak yang terlalu banyak bertanya. Karena bosan dan jengkel, kita memarahinya, mengatakan mereka cerewet, bahkan menyuruhnya untuk tidak terlalu banyak bertanya.

Padahal, anak yang cerewet atau sering bertanya, sebenarnya adalah anak yang sangat pintar. Mereka ingin tahu banyak hal. Karena itu, cobalah untuk bersabar menghadapi mereka. Jawablah pertanyaan2 mereka sebisa mungkin, dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara seperti ini, kreativitas dan kecerdasan anak akan tumbuh dengan sewajarnya.

* * *

Adakah teman-teman hendak menambahkan, atau ingin mengoreks jika ada yang salah pada tulisan saya?

Ditunggu ya...

wassalam

Cara Mendidik Anak dengan Menghukum/Memukul

Ingin cerita pengalaman saya dengan anak saya Razi. Saya bukan ahli pendidikan, jadi caranya saya meraba-raba saja.

Karena buat anak2 seperti anak kita susah dijelaskan "salah" atau "benar", waktu anak saya Razi dulu waktu masih kecil saya menerapkan "boleh" dan "tidak boleh"

lebih dulu, meski dia tidak ngerti. Saya membatasi ( seperti pernah juga dulu saya cerita ) hal yang "tidak boleh" dilakukannya sesedikit mungkin : yang membahayakan dirinya atau yang membahayakan orang lain ditambah bila hal yang dilakukannya tidak sopan. Diluar itu semua "boleh" ( kawatir kalau banyak yang tidak boleh malah membuat dia tidak berkembang samasekali). Untuk anak saya, saya pikir berhasil, karena sekarang ( 13 tahun ) dia patuh dan juga sayang kepada kami orang tuanya.

Yang jelas harus ada kesatuan pendapat antara Bapaknya dan Ibunya. jangan sampe yang "boleh" sama ibunya tapi "tidak boleh " sama bapaknya. Akibatnya si Bapak meghukum, si ibu membela, maka si anak akan bingung.

Untuk yang "tidak boleh" disamping dengan mulut dan ekspresi marah, saya juga menggunakan tangan ( cara ini mungkin banyak ibu atau bapak anggota milis yang tidak setuju, apa boleh buat ). Kalau hal itu dilakukannya maka sambil melarang saya memukul pantatnya atau kalau tidak mempan saya akan mecubit pantatnya sampai dia nangis, lalu saya biarkan nangis sampai berhenti. Saya larang siapa saja membujuk, atau berlaku manis dalam kurun waktu itu, termasuk ibunya. kalau diulang lagi saya akan kembali memukul atau mencubit pantatnya juga sampai dia nangis.

Sesudah dia merasa tidak ada yang membelanya dan berhenti menangis baru saya perlakukan kembali sebagaimana biasa, merangkulnya atau bicara dengan dia, untuk menunjukkan bahwa saya sebenarnya sangat sayang sama dia.

Ada beberapa hal yang "tidak boleh" itu dilakukannya di tempat publik misalnya di pertemuan keluarga, di supermarket atau bahkan disekolahnya. Saya tetap

menghukumnya ( meski isteri saya marah-2 pada saya, karena malu ) dengan cara itu ditempat kejadian. Misalnya di supermarket dia mengayun-2 kan kayu panjang tanpa peduli dengan orang yang rame disekelilingnya.

Sesudah agak gedean ( umur 6 - 8 tahun ) dia main perosotan di pegangan tangga antar lantai atau lari2 naik turun eskalator yang lagi jalan. Saya uber dan saya pukul

ditempat itu juga. Mungkin pengunjung melihat saya seperti ayah yang kejam yang senang mukul anak. Apa boleh buat, masalahnya kalau saya tunggu sampe ke rumah baru marah, karena rentang ingatannya yang pendek, kalo dirumah mungkin dia bingung saya marahin dia soal apa ( dia sudah lupa kelakuannya di keramaian diatas ), jadi bisa jadi kemarahan saya tidak efektip.

Atau di rumah, meniru yang dilakukan tukang memperbaiki genteng rumah saya, pernah dua kali anak saya naik ke atas genteng ( waktu saya ada dirumah ) dan jalan mondar mandir di puncak atap dengan santai sampe tukang becak dan tetangga yang ada disekitar rumah teriak2 menyuruh turun ( ini juga dulu pernah saya ceritakan ). saya bujukin dia supaya turun, saya janjikan Mc Donald, pizza atau apa saja yang dia suka. Begitu dia menginjak lantai saya "hajar" pantatnya sampai dia nangis dengan ekspresi marah.

Baru sesudah reda tangisnya dan juga kemarahan saya ( lebih tepat ketakutan saya ), saya bawa dia membeli yang saya janjikan itu, cukup jauh tempatnya lebih kurang sejam naik mobil ke BSD atau Bintaro dari rumah saya di Pamulang. Padahal makannya cuma butuh waktu lima menit, belum keluar dari lapangan parkir, yang dimakannya udah habis.

Yang tidak sopan, pernah satu kali di mesjid dia menunjuk-2 ke arah mulut seorang Bapak2 yang sudah agak tua. Si Bapak mulutnya sumbing. Saya coba jelaskan, bahwa mulut Bapak itu luka, belum sembuh. Dia seperti terpesona terus memelototi si bapak. Akhirnya saya angkat tangan saya, sambil ngomong : kalau terus begitu Razi nanti saya pukul. Baru dia berhenti ngeliat si bapak. Jadi saya urung memukulnya.

Syukurlah, paling banyak dua atau tiga kali saya perlu menghukum untuk kelakuan yang sama. Sisanya bila ada yang "tidak boleh" dilakukannya, paling paling saya cuma perlu ngomong atau dengan gerak mengancam mengangkat tangan saya siap memukul dia langsung surut. Dan lebih syukur lagi beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi saya harus menggunakan tangan seperti dulu itu, dia sudah ngerti

kalau dibilang tidak boleh dan sekarang sudah mengerti sedikit demi sedikit "salah" dan "benar". Dia bisa membedakan kalau saya lagi bercanda, atau lagi marah.

Kalau saya tendang pantatnya secara main2, dia pasti nguber saya buat ngebalas. Tapi kalo dia liat saya marah, dia sudah buru2 minta maaf, biarpun saya tidak nyenggol

dia sekalipun.

Biar bagaimana Bu, ini cara yang pernah saya terapkan buat anak saya. belum tentu berhasil buat yang lain. Kalau terpaksa, mungkin Ibu bisa pake cara ini, kalo ada cara lain yang kurang "vulgar", ya lebih baik pake cara itu.

Wassalam,

Pola asuh anak

Ada 3 Macam Pola asuh yang selama ini digunakan dalam masyarakat yakni Pola Asuh Koersif, Pola Asuh Permisif dan Pola Asuh dialogis.
Pola -pola Asuh ini tidak pernah lepas dari konteks sosial suatu masyarakat. Dan bahkan tingkah laku anak hanya dapat dipahami dengan konteks sosialnya.
Ketiga bentuk pola asuh ini datang silih berganti, sejarahnya sudah 8000 tahun. Kadang-kadang koersif lebih dominan, lalu menyusul permisif kemudian datanglah dialogis untuk mengembalikan manusia ke jalan para nabi dan Rasul .
Pola Asuh Koersif berasal dari satu fase masyarakat otokratis. Suatu masyarakat yang meyakini bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengatur perilaku kelompok lain( yang inverior) karena merasa memiliki superioritas .
Sebagian besar kita para orang tua mewarisi pola Asuh yang kita dapatkan secara turun temurun dari orang tua kita.
Lalu sering kali timbul dalam benak kita, dulu orang tua kita menggunakan pola Asuh koersif dan ternyata mereka berhasil menghantarkan kita seperti apa yang kita rasakan saat ini. Namun pada saat kita mencoba menerapkan persis apa yang telah orang tua kita polakan kepada kita kenapa yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan ?
Ternyata penyebabnya adalah karena telah terjadi pergeseran nilai tatanan dalam masyarakat tempat anak-anak kita dibesarkan yang ternyata jauh berbeda dengan masyarakat tempat dahulu kita dan orang tua kita dibesarkan.
Dahulu masyarakat berada pada fase otokrasi sedang sekarang sudah cenderung kepada fase permisif, sehingga banyak orang tua dibuat tak berdaya oleh anak-anak mereka yang beberapa tahun lalu masih nunut saja dengan keinginan mereka, sekarang sudah mahir untuk membrontak dan lebih-lebih lagi mereka dilindungi oleh undang-undang.
1. Pola Asuh Koersif : tertib tanpa kebebasan
Pola Asuh koersif hanya mengenal Hukuman dan Pujian dalam berinteraksi dengan anak. Pujian akan diberikan mana kala anak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua. Sedangkan hukuman akan diberikan manakala anak tidak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua.
Akibat penerapan pola asuh koersif ini akan muncul empat tujuan anak berperilaku negatif yakni :
Mencari perhatian, Unjuk kekuasaan , Pembalasan dan Penarikan diri.
Ketika seorang anak dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan keinginan orang tua dan dengan cara yang dikehendaki olah orang tua maka anak akan kembali menuntut orang tuanya untuk memberikan perhatian atau pujian kepadanya. Sebaliknya jika anak tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya maka dia akan merasa hidupnya tidak berharga maka dia akan menarik dirinya dari kehidupan.
Pada saat orang tua menghukum anak karena anak tidak mematuhi keinginannya maka anak akan belajar untuk mencari kekuasaan karena dia merasakan bahwa karena dia tidak memiliki kekuasaanlah dia jadi terhina, jika dia tidak mendapatkan kekuasaan tersebut maka dia akan menanti-nanti saat yang tepat baginya untuk membalasi semua perilaku tak enak yang dia terima selama ini.
Orang tua yang koersif beranggapan bahwa mereka dapat merubah perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut dengan cara mencongkel perilaku itu lalu menggantikannya dengan perilaku yang mereka kehendaki tanpa memperdulikan perasaan anaknya.
2. Pola Asuh Permisif : bebas tanpa ketertiban.
Pola asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh. Orang tua merasa bahwa pola asuh koersif tidak sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, sebagai pengambil keputusan yang aktif, penuh arti dan berorientasi pada tujuan dan memiliki derajat kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri. Namun disisi lain orang tua tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap putra putir mereka, sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak mereka kepada masyarakat dan media masa yang ada. Sambil berharap suatu saat akan terjadi keajaiban yang datang untuk menyulap anak-anak mereka sehingga menjadi pribadi yang soleh dan sholehah.
Di satu sisi orang tua tidak tahu apa yang baik untuk anaknya, disisi yang lain anak menafsirkan ketidak berdayaan orang tua mereka dengan "orang tua tidak punya pengharapan terhadap mereka."
Akibatnya anak akan terjebak kepada gaya hidup yang serba boleh persis tepat dan sesuai dengan pola yang berlaku pada masyarakat tempat dia dibesarkan saat ini. Di satu sisi orang tua akan selalu menanggung semua akibat perilaku anaknya tanpa mereka sendiri menyadari hal ini.
3. Pola Asuh Dialogis : tertib dengan kebebasan.
Pola Asuh ini datang sebagai jawaban atas ketiadaannya pola asuh yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia . Dia merupakan pola asuh yang diwajibkan oleh Allah swt terhadap para utusannya. Berpijak kepada dorongan dan konsekuensi dalam membangun dan memelihara fitrah anak. orang tua menyadari bahwa anak adalah amanah Allah swt pada mereka dia merupakan makhluk yang aktif dan dinamis. Aktivitas mereka bertujuan agar mereka dapat diakui keberadaannya, diterima kontribusinya dan dicintai dan dimiliki oleh keluarganya.
Dalam memperbaiki kesalahan ,anak orang tua menyadari bahwa kesalah itu muncul karena mereka belum trampil dalam melakukan kebaikan, sehingga mereka akan mencoba untuk membangun ketrampilan tersebut dengan berpijak kepada kelebihan yang anak miliki, lalu mencoba untuk memperkecil hambatan yang mebuat anak berkecil hati untuk memulai kegiatan yang akan menghantarkan mereka kepada kebaikan tersebut. Lalu juga orang tua akan berusaha menerima keadaan anak apa adanya tanpa membanding-bandingkan mereka dengan orang lain atau bahkan saudara kandung mereka sendiri, atau teman bermainnya.
Orang tua akan membiasakan diri berdialog dengan anak dalam menemani pertumbuh -kembangan anak mereka. setiap kali ada persoalan anak dilatih untuk mencari akar persoalan, lalu diarahkan untuk ikut menyelesaikan secara bersama.
Dengan demikian anak akan merasakan bahwa hidupnya penuh arti sehingga dengan lapang dada dia akan merujuk kepada orang tuanya jika dia mempunyai persoalan dalam kehidupannya. Yang berarti pula orang tua dapat ikut bersama anak untuk mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan anak-anak setiap saat.
Selain itu orang tua yang dialogis akan mebrusaha mengajak anak agar terbiasa menerima konsekuensi secara logis dalam setiap tindakannya. sehingga anak akan menghindari keburukan karena dia sendiri merasakan akibat perbuatan buruk itu, bukan karena desakan dari orang tuanya.

Memilih sekolah untuk anak

oleh Rika Yuana Kusumah Dewi
Tiap orangtua tentu akan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik buat putra-putrinya bahkan sejak usia prasekolah. Peranan pendidikan prasekolah dianggap makin penting karena diyakini bisa memberikan landasan yang kuat untuk tingkatan sekolah selanjutnya.

BELAKANGAN ini, di Indonesia ada banyak sekali tawaran program pendidikan bagi anak-anak usia prasekolah, seperti kelompok bermain (play group) dan taman kanak-kanak (TK). Orangtua harus memilihkan anaknya pendidikan prasekolah yang tepat. Karena, jika keliru memilih tempat, tak hanya berarti kerugian secara finansial, juga risiko mempertaruhkan anak menghadapi masa depannya. Lalu, bagaimanakah memilih tempat pendidikan prasekolah yang tepat yang sesuai dengan keinginan dan juga kemampuan keuangan keluarga?

Berikut ini adalah beberapa pertimbangan praktis dalam memilih prasekolah yang tepat. Sebelum memutuskan memilih tempat pendidikan prasekolah, orangtua bisa mempertanyakan beberapa hal berikut.


* Kurikulum yang digunakan. Apakah kurikulum yang digunakan sudah tepat? Sudahkah program dalam kurikulum yang diterapkan terarah sesuai dengan kelompok umur, berdasarkan minat anak sehingga dapat meningkatkan perkembangan fisik, intelektual, sosial emosional dan kemampuan berkomunikasi untuk mengemukakan pendapatnya. Sebaiknya kegiatan dirancang dengan konsep "belajar sambil bermain" sehingga anak-anak dapat betah "belajar", dan merangsang keterlibatan anak secara aktif dalam segala aktivitas sehingga dapat meningkatkan kemandirian anak.


* Adanya Rancangan Aktivitas yang menarik dan patut. Sebaiknya aktivitas anak dirancang sebagai pelaksanaan dari rencana program yang telah disebutkan di atas. Aktivitas harus bervariasi sehingga anak-anak tak merasa cepat bosan. Tiap aktivitas seharusnya dilengkapi alat bantu/peraga yang menarik bagi anak. Misalnya untuk pengenalan huruf dan angka, sebaiknya menggunakan balok-balok huruf dan angka yang berukuran agak besar dengan warna-warni. Anak-anak dibiasakan mengikuti pembacaan cerita oleh guru untuk merangsang minat baca anak. Buku cerita sebaiknya bergambar jelas dengan warna menarik. Aktivitas lain yang biasa diberikan untuk mencegah kebosanan anak, antara lain memasang balok-balok (lego), melukis, bernyanyi, menari yang diiringi lagu/musik, bermain komputer dan menonton (video) program anak-anak. Anak-anak juga perlu diajak bermain di luar ruangan seperti menggunakan ayunan, prosotan, bermain air dan pasir. Jenis mainan harus sesuai dengan kelompok umur agar tidak membahayakan.

* Lama sekolah. Pengalaman menunjukkan, makin pendek waktu sekolah anak dan/atau makin jarang mereka mengikuti program dalam seminggu, makin stres anak mengikuti program prasekolah. Ini terjadi karena secara psikologis anak mengalami proses adaptasi dengan lingkungan sekolahnya setelah hampir seharian penuh di rumah bersama orangtua atau pengasuh. Proses adaptasi ini perlu waktu yang tak cepat sesuai dengan pribadi masing-masing anak. Hanya sedikit anak yang dapat cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Faktor yang menghambat proses adaptasi anak dalam aktivitas prasekolah adalah rasa kedekatan yang berlebihan dengan orangtua atau pengasuhnya. Anak umumnya minta ditunggui pada saat mengikuti prasekolah. Tak jarang orangtua atau pengasuhnya harus ikut masuk kelas menunggu si anak. Proses berpisah antara anak dengan orangtua atau pengasuh pada saat mengikuti prasekolah inilah yang sangat menghambat keberanian dan kemandirian anak.


Jika program pendidikan prasekolah hanya dilaksanakan dalam waktu 2 jam sehari, maka pada saat naluri keberanian anak mulai muncul ternyata anak sudah harus pulang karena bel tanda pulang sudah berbunyi. Demikian juga halnya dengan program prasekolah yang hanya tiga kali seminggu menyebabkan anak harus mengulangi proses adaptasinya tiap kali datang ke sekolah karena kemarinnya seharian anak bersama orangtua atau pengasuh di rumah. Kedua hal di atas akan menghambat keberanian anak sehinggga kelihatannya tak ada kemajuan yang menyenangkan terhadap keberanian dan kemandirian anak. Hal ini seringkali memusingkan dan membuat para orangtua frustrasi dan menganggap si anak belum siap untuk mengikuti program prasekolah.


Kalau program prasekolah dibuat lebih lama dan rutin, misalnya 4 jam dalam sehari selama 5 - 6 kali seminggu, maka anak akan lebih mudah mengikuti program yang direncanakan dan lebih leluasa mengekspresikan dirinya, karena mereka sudah melewati masa adaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Belajar dari pengalaman bahwa sampai kurun waktu tertentu, anak justru tidak mau pulang karena mereka telah "menemukan" dirinya dalam lingkungannya, yaitu punya teman bermain dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya (guru-guru). Anak pada kondisi ini sudah mulai bisa menguasai dirinya sendiri, punya rasa percaya diri yang pada akhirnya anak akan berani dan mandiri. Hal ini akan dapat dicapai apabila didukung oleh program-program yang menarik yang mampu merangsang anak untuk tergabung dan larut dalam kelompoknya.


* Rasio jumlah guru dan anak. Rasio antara jumlah guru dan anak sangat ditentukan usia anak. Jika tempat prasekolah itu menyediakan fasilitas penitipan bayi, maka rasio yang baik adalah satu orang pengasuh menangani maksimum empat bayi (0-2 tahun). Jumlah bayi dalam satu kelompok berkisar 8-10 bayi. Agar efektif, satu kelompok terdiri dari 10 bayi dan diasuh oleh 3 orang pengasuh. Untuk program Kelompok Bermain/Playgroup (2-4 tahun), maksimum rasionya adalah satu guru menangani 10 anak. Satu kelas yang efektif berisi 20-25 anak, diasuh 2 guru dan seorang asisten. Sedangkan untuk TK (5-6 tahun), rasio ideal adalah satu guru menangani 10 anak. Untuk dapat efektif, jumlah anak maksimum tiap kelas TK adalah 25-30 anak (tergantung besar/kecilnya ruangan yang digunakan), diasuh 2 guru dan seorang asisten.


* Kenyamanan dan keamanan anak. Perhatikan fasilitas yang dimiliki seperti gedung, ruang kelas, sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas anak seperti media pengajaran dan tempat untuk bermain. Walau tidak selalu harus memilih sekolah dengan gedung bagus, namun aspek nyaman, bersih, indah dan aman harus terdapat di sekolah yang akan kita pilih. Telitilah media pengajaran yang dipergunakan seperti buku-buku dan alat bantu belajar lainnya. Perhatikan alat permainan yang dimiliki — aktivitas dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor)

– apakah sudah sesuai dengan harapan? Aspek keamanan dan kenyamanan dalam aktivitas anak sangat penting diperhatikan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya untuk aktivitas outdoor, apakah dilakukan di atas tanah yang telah ditanami rumput atau diatas pasir putih atau ditutup dengan karpet untuk mengurangi efek benturan seandainya ada anak yang terbentur ke tanah akibat terjatuh dari tempat mainannya? Perhatikan pula jenis mainan yang disediakan, ukuran dan bahan yang digunakan harus aman dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan anak.


* Kenali Guru yang akan mendidik anak kita karena ini terkait dengan figur atau model kedua yang sedang diamati oleh sang anak. Usahakan untuk memilih sekolah dengan Guru yang memiliki karakter baik dan kuat. Selain itu, kenali juga lingkungan sekolahnya karena iklim sekolah akan berpengaruh juga terhadap anak-anak kita.
* Penerapan disiplin. Guru atau pengasuh sebaiknya memakai pendekatan positif dalam memberikan pengarahan dan menerapkan disiplin terhadap anak. Memberikan contoh kepada anak adalah cara yang terbaik sehingga anak-anak tidak akan merasa stres dan terbebani untuk mengikuti disiplin yang ditetapkan.


* Pemeriksaan kesehatan. Kesehatan anak berpengaruh besar tehadap perkembangan anak. Carilah kejelasan, apakah tempat prasekolah itu menyediakan sarana pemeriksaan kesehatan secara rutin oleh tenaga medis (dokter/perawat).


* Program kunjungan. Kunjungan ke tempat-tempat yang menarik dan penting akan menambah wawasan bagi anak-anak anda. Apakah kunjungan tersebut dilakukan secara berkala dan terorganisasi dengan baik? Apakah diperlukan persetujuan orangtua untuk mengikutsertakan anak mereka dalam kegiatan ini dan bagaimana peranan orangtua dalam kegiatan ini? Apakah perlu mambayar untuk kegiatan ekstra atau biayanya sudah termasuk dalam uang sekolah?


* Perbedaan budaya dan agama. Perlu ditanyakan apakah sekolah/guru akan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua anak? Ini penting untuk meyakinkan bahwa semua anak akan memperoleh perhatian dan perlakuan yang sama dengan menghargai perbedaan agama dan latar belakang budaya. Ini barangkali juga akan diperlukan bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di luar negeri.


Sejumlah informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih tempat pendidikan prasekolah yang terbaik bagi anak. Tentunya harus tetap memperhatikan kondisi keuangan keluarga karena makin berkualitas fasilitas dan program yang ditawarkan maka makin mahal biayanya.

7 Kecerdasan dan sekolah

Di dalam buku Frames of Mind yang terbit tahun 1983, seorang psikolog bernama Howard Gardner menyimpulkan hasil risetnya yang mengatakan bahwa sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan:
  1. Kecerdasan linguistik, berkaitan dengan kemampuan bahasa dan penggunaannya. Orang-orang yang berbakat dalam bidang ini senang bermain-main dengan bahasa, gemar membaca dan menulis, tertarik dengan suara, arti dan narasi. Mereka seringkali pengeja yang baik dan mudah mengingat tanggal, tempat dan nama.
  2. Kecerdasan musikal, berkaitan dengan musik, melodi, ritme dan nada. Orang-orang ini pintar membuat musik sendiri dan juga sensitif terhadap musik dan melodi. Sebagian bisa berkonsentrasi lebih baik jika musik diperdengarkan; banyak dari mereka seringkali menyanyi atau bersenandung sendiri atau mencipta lagu serta musik.
  3. Kecerdasan logis-matematis, berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka dan logika. Orang-orang ini cenderung pintar dalam teka-teki, gambar, aritmatika, dan memecahkan masalah matematika; mereka seringkali menyukai komputer dan pemrograman. 
  4. Kecerdasan spasial, berhubungan dengan bentuk, lokasi dan mebayangkan hubungan di antaranya. Orang-orang ini biasanya menyukai perancangan dan bangunan, disamping pintar membaca peta, diagram dan bagan.
  5. Kecerdasan tubuh-kinestetik, berhubungan dengan pergerakan dan ketrampilan olah tubuh. Orang-orang ini adalah para penari dan aktor, para pengrajin dan atlet. Mereka memiliki bakat mekanik tubuh dan pintar meniru mimik serta sulit untuk duduk diam. 
  6. Kecerdasan interpersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk bisa mengerti dan menghadapi perasaan orang lain. Orang-orang ini seringkali ahli berkomunikasi dan pintar mengorganisasi, serta sangat sosial. Mereka biasanya baik dalam memahami perasaan dan motif orang lain.
  7. Kecerdasan intrapersonal, berhubungan dengan mengerti diri sendiri. Orang-orang ini seringkali mandiri dan senang menekuni aktifitas sendirian. Mereka cenderung percaya diri dan punya pendapat, dan memilih pekerjaan dimana mereka bisa memiliki kendali terhadap cara mereka menghabiskan waktu. 
Menurut Gardner, masing-masing dari kita memiliki sebuah kombinasi dari kecerdasan-kecerdasan ini. Setiap orang mempunyai kekuatan relatif dari tiap kecerdasan di atas sedemikian rupa sehingga orang tersebut cenderung menentukan pilihan aktifitas apapun yang dia sukai tanpa keterpaksaan. Kita menyebutnya sebagai bakat.
Dari sini kita bisa mengukur sejauh mana cakupan pendidikan yang pernah kita terima saat duduk dibangku SD hingga perguruan tinggi? Rasanyan, kebanyakan institusi pendidikan di Indonesia memberikan porsi yang besar terfokus  pada pembangunan kecerdasan logis-matematis. Bahkan secara tak sadar masyarakat kitapun cenderung memberikan apresiasi yang berlebihan bagi orang yang memiliki kecerdasan logis-matematis. Banyak orang tua yang merasa prihatin bila mendapatkan anak-anaknya lemah dalam hal yang berbau logis-matematis. Keprihatinan tersebut mendorong para orang tua untuk memasukan anak-anaknya ke tempat bimbingan belajar atau mencari guru private yang mampu mengajarkan anaknya tentang dunia logis-matematis. Namun sesungguhnya mereka tidak mengajarkan apapun, yang jelas mereka melakukan pemaksaan terhadap suatu hal yang memang bukanlah bakat sang anak.
Lalu dimana anak-anak kita bisa mendapatkan ruang dan waktu yang bisa menumbuhkan dan menyalurkan atau setidaknya mengakomodir bakat mereka? Jawaban yang pasti adalah diluar sekolah. Saatnya kita harus berfikir untuk mendidik tanpa sekolah. Bagaimana caranya memberikan pendidikan tanpa sekolah? Wallahu’alam.