Menjadi orangtua pada zaman globalisasi saat ini tidak mudah. Apalagi jika orangtua mengharapkan anaknya tidak sekadar menjadi anak yang pintar, tetapi juga taat dan salih. Menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup. Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di rumah juga tidak mungkin. Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu, bagaimana cara menjadi orangtua yang bijak dan arif untuk menjadikan anak-anaknya taat pada syariah?
Asah Akal Anak untuk Berpikir yang Benar
Hampir setiap orangtua mengeluhkan betapa saat ini sangat sulit mendidik anak. Bukan saja sikap anak-anak zaman sekarang yang lebih berani dan agak ‘sulit diatur’, tetapi juga tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi yang turut memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak.
“Anak-anak sekarang beda dengan anak-anak dulu. Anak dulu kan takut dan segan sama orangtua dan guru. Sekarang, anak berani membantah dan susah diatur. Ada saja alasan mereka!”
Begitu rata-rata komentar para orangtua terhadap anaknya. Yang paling sederhana, misalnya, menyuruh anak shalat. Sudah jamak para ibu ngomel-ngomel, bahkan sambil membentak, atau mengancam sang anak agar mematikan TV dan segera shalat. Di satu sisi banyak juga ibu-ibu yang enggan mematikan telenovela/sinetron kesayangannya dan menunda shalat. Fenomena ini jelas membingungkan anak.
Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam berargumen untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orangtua atau guru, mungkin dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur. Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia menjawab atau bertanya; tidak melulu mereka menurut dan diam (karena takut) seperti anak-anak zaman dulu.
Dalam persoalan ini, orangtua haruslah memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, memberikan informasi yang benar, yaitu yang bersumber dari ajaran Islam. Informasi yang diberikan meliputi semua hal yang menyangkut rukun iman, rukun Islam dan hukum-hukum syariah. Tentu cara memberikannya bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak untuk mempergunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orangtua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Sebab, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita. Dalam hal shalat, misalnya, tidak bisa anak didoktrin dengan ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak shalat dosa. Mama nggak akan belikan hadiah kalau kamu malas shalat!”
Ajak dulu anak mengetahui informasi yang bisa merangsang anak untuk menalar mengapa dia harus shalat. Lalu, terus-menerus anak diajak shalat berjamaah di rumah, juga di masjid, agar anak mengetahui bahwa banyak orang Muslim yang lainnya juga melakukan shalat.
Kedua, jadilah Anda teladan pertama bagi anak. Ini untuk menjaga kepercayaan anak agar tidak ganti mengomeli Anda—karena Anda hanya pintar mengomel tetapi tidak pintar memberikan contoh.
Terbiasa memahami persoalan dengan berpatokan pada informasi yang benar adalah cara untuk mengasah ketajaman mereka menggunakan akalnya. Kelak, ketika anak sudah sempurna akalnya, kita berharap, mereka mempunyai prinsip yang tegas dan benar; bukan menjadi anak yang gampang terpengaruh oleh tren pergaulan atau takut dikatakan menjadi anak yang tidak ‘gaul’.
Tanamkan Akidah dan Syariah Sejak Dini
Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar si anak mengenal betul siapa Allah. Sejak si bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa memulainya dengan sering bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, orangtua mempunyai kesempatan untuk membiasakan si bayi mendengarkan ayat-ayat al-Quran. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lebih jauh, anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Dengan begitu, anak mengetahui betapa Allah Mahabesar, Mahaperkasa, Mahakaya, Mahakasih, Maha Melihat, Maha Mendengar, dan seterusnya. Jika anak bisa memahaminya dengan baik, insya Allah, akan tumbuh sebuah kesadaran pada anak untuk senantiasa mengagungkan Allah dan bergantung hanya kepada Allah. Lebih dari itu, kita berharap, dengan itu akan tumbuh benih kecintaan anak kepada Allah; cinta yang akan mendorongnya gemar melakukan amal yang dicintai Allah.
Penanaman akidah pada anak harus disertai dengan pengenalan hukum-hukum syariah secara bertahap. Proses pembelajarannya bisa dimulai dengan memotivasi anak untuk senang melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah, misalnya, dengan mengajak shalat, berdoa, atau membaca al-Quran bersama.
Yang tidak kalah penting adalah menanamkan akhlâq al-karîmah seperti berbakti kepada orangtua, santun dan sayang kepada sesama, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sifat-sifat baik lainnya. Jangan sampai luput untuk mengajarkan itu semua semata-mata untuk meraih ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau pamrih duniawi.
Kerjasama Ayah dan Ibu
Tentu saja, anak akan lebih mudah memahami dan mengamalkan hukum jika dia melihat contoh real pada orangtuanya. Orangtua adalah guru dan orang terdekat bagi si anak yang harus menjadi panutan. Karenanya, orangtua dituntut untuk bekerja keras untuk memberikan contoh dalam memelihara ketaatan serta ketekunan dalam beribadah dan beramal salih. Insya Allah, dengan begitu, anak akan mudah diingatkan secara sukarela.
Keberhasilan mengajari anak dalam sebuah keluarga memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu masing-masing mempunyai target dan cara yang berbeda dalam mendidik anak, tentu anak akan bingung, bahkan mungkin akan memanfaatkan orangtua menjadi kambing hitam dalam kesalahan yang dilakukannya. Ambil contoh, anak yang mencari-cari alasan agar tidak shalat. Ayahnya memaksanya agar shalat, sementara ibunya malah membelanya. Dalam kondisi demikian, jangan salahkan anak jika dia mengatakan, “Kata ibu boleh nggak shalat kalau lagi sakit. Sekarang aku kan lagi batuk, nih…”
Peran Lingkungan, Keluarga, dan Masyarakat
Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anak belumlah cukup untuk mengantarkan si anak menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Anak juga membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan tempat dia beraktivitas, baik di sekolah, sekitar rumah, maupun masyarakat secara luas.
Di sisi inilah, lingkungan dan masyarakat memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Masyarakat yang menganut nilai-nilai, aturan, dan pemikiran Islam, seperti yang dianut juga oleh sebuah keluarga Muslim, akan mampu mengantarkan si anak menjadi seorang Muslim sejati.
Potret masyarakat sekarang yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan pemikiran materialisme, sekularisme, permisivisme, hedonisme, dan liberalisme merupakan tantangan besar bagi keluarga Muslim. Hal ini yang menjadikan si anak hidup dalam sebuah lingkungan yang membuatnya berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia mendapatkan pengajaran Islam dari keluarga, namun di sisi lain anak bergaul dalam lingkungan yang sarat dengan nilai yang bertentangan dengan Islam.
Tarik-menarik pengaruh lingkungan dan keluarga akan mempengaruhi sosok pribadi anak. Untuk mengatasi persoalan ini, maka dakwah untuk mengubah sistem masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam mutlak harus di lakukan. Hanya dengan itu akan muncul generasi Islam yang taat syariah. Insya Allah
Minggu, 20 Juni 2010
Mendidik anak menjadi pintar
Menjadi anak pintar bukanlah sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan saja. Melainkan ada beberapa faktor atau cara mendidik yang membuat seorang anak memiliki otak encer dibanding yang lain. Berikut beberapa hal yang disampaikan oleh MSNNews tentang seharusnya pendidikan yang didapat anak. Pendidikan yang saya sebut disini bukanlah formal di sekolah. Melainkan yang harus dilakukan orang tua di rumah. Berikut beberapa cara yang membuat anak dapat menjadi lebih pintar dibanding yang lain :
Bermain musik
Cara ini dapat merangsang pertumbuhan otak kanan. Dan dari studi yang dilakukan oleh universitas Toronto, ini dapat meningkatkan IQ dan nilai akademis anak. Bintang pernah membaca sebuah artikel kenapa orang zionis israel menjadi pintar. Salah satunya adalah sejak masih dini mereka sudah dilatih konsentrasinya dengan bermain Piano.
Mengembangkan rasa ingin tahu anak
Pendidikan yang sukses karena anak pintar selalu ingin tahu akan hal baru. Maka daripada itu sejak kecil biasakan anda sebagai orang tua harus selalu menunjukkan rasa ingin tahu kepada anak.
Dengan begitu anda tidak perlu menyuruh anak untuk belajar ini itu. Karena dia sendiri yang akan penasaran. Otomatis dengan semakin banyak yang dia pelajari akan membuatnya menjadi pintar. Cara mendidik yang baguskan?
Budayakan membaca
Dengan kegiatan membaca akan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan perkembangan kognitif anak. Lalu bagaimana cara untuk melakukannya? Membacakan dongeng untuk anak bisa menjadi salah satu jalan keluar. Cara lain, berikan anak hadiah sebuah buku yang dapat menarik perhatiannya.
Apalagi sekarang sudah zaman internet, mengapa tidak gunakan itu senjata dalam mendidik? Internet sudah terbukti cara ampuh untuk membuat orang sering membaca. Tentu saja karena ini untuk pendidikan anak untuk menjadi pintar, harus tetap ditemani oleh Orang Tua.
Kepercayaan diri
Mendidik anak pintar yang baik adalah membuatnya percaya diri dan selalu optimis bahwa dia bisa melakukan sesuatu. Salah satu cara adalah berpatisipasi dalam kegiatan olahraga maupun sosial dapat membantunya.Dan jangan sekalipun mendidik anak sehingga dia menjadi tidak PD.
Salah satu contoh adalah Ketika seorang ibu mengkritik gambar anaknya karena langitnya berwarna merah bukan biru. Sepertinya hal itu sepele. Tapi itu bukan pendidikan anak yang bagus. Karena anak jadi takut melakukan sesuatu karena salah. Dan manusia yang tidak pernah melakukan sesuatu bagaimana mungkin menjadi pintar.
Beberapa hal lain yang dapat membuat anak menjadi pintar adalah dengan tentu saja memberikan ASI, menyingkirkan makanan cepat saji dan memberikan makanan yang sehat, membiasakan berolahraga. Mudah-mudahan jika anda mendidik dengan pendidikan seperti cara diatas, anak bisa menjadi lebih pintar.
Bermain musik
Cara ini dapat merangsang pertumbuhan otak kanan. Dan dari studi yang dilakukan oleh universitas Toronto, ini dapat meningkatkan IQ dan nilai akademis anak. Bintang pernah membaca sebuah artikel kenapa orang zionis israel menjadi pintar. Salah satunya adalah sejak masih dini mereka sudah dilatih konsentrasinya dengan bermain Piano.
Mengembangkan rasa ingin tahu anak
Pendidikan yang sukses karena anak pintar selalu ingin tahu akan hal baru. Maka daripada itu sejak kecil biasakan anda sebagai orang tua harus selalu menunjukkan rasa ingin tahu kepada anak.
Dengan begitu anda tidak perlu menyuruh anak untuk belajar ini itu. Karena dia sendiri yang akan penasaran. Otomatis dengan semakin banyak yang dia pelajari akan membuatnya menjadi pintar. Cara mendidik yang baguskan?
Budayakan membaca
Dengan kegiatan membaca akan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan perkembangan kognitif anak. Lalu bagaimana cara untuk melakukannya? Membacakan dongeng untuk anak bisa menjadi salah satu jalan keluar. Cara lain, berikan anak hadiah sebuah buku yang dapat menarik perhatiannya.
Apalagi sekarang sudah zaman internet, mengapa tidak gunakan itu senjata dalam mendidik? Internet sudah terbukti cara ampuh untuk membuat orang sering membaca. Tentu saja karena ini untuk pendidikan anak untuk menjadi pintar, harus tetap ditemani oleh Orang Tua.
Kepercayaan diri
Mendidik anak pintar yang baik adalah membuatnya percaya diri dan selalu optimis bahwa dia bisa melakukan sesuatu. Salah satu cara adalah berpatisipasi dalam kegiatan olahraga maupun sosial dapat membantunya.Dan jangan sekalipun mendidik anak sehingga dia menjadi tidak PD.
Salah satu contoh adalah Ketika seorang ibu mengkritik gambar anaknya karena langitnya berwarna merah bukan biru. Sepertinya hal itu sepele. Tapi itu bukan pendidikan anak yang bagus. Karena anak jadi takut melakukan sesuatu karena salah. Dan manusia yang tidak pernah melakukan sesuatu bagaimana mungkin menjadi pintar.
Beberapa hal lain yang dapat membuat anak menjadi pintar adalah dengan tentu saja memberikan ASI, menyingkirkan makanan cepat saji dan memberikan makanan yang sehat, membiasakan berolahraga. Mudah-mudahan jika anda mendidik dengan pendidikan seperti cara diatas, anak bisa menjadi lebih pintar.
Beberapa cara mendidik anak yang kurang baik
Dan maaf kalau ternyata teman-teman udah lebih tahu dari saya mengenai hal ini :)
Menurut saya, berikut adalah beberapa contoh dari cara mendidik anak yang kurang baik.
1. Jika anak terjatuh karena menyenggol meja, kita memukul mejanya dan mengatakan pada si kecil bahwa meja itu jahat.
atau:
kalau anak A memukul anak B sehingga si B menangis, kita akan (pura-pura) memukul si A di depan si B agar si B tidak menangis lagi.
Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia pendendam. Si anak juga akan terdidik untuk menjadi manusia yang tidak pernah merasa bersalah. "Pokoknya apapun yang terjadi, yang salah adalah orang lain, bukan saya!"
2. Kalau anak terjatuh, kita akan langsung menggendongnya dan melindunginya, bersikap seolah2 si anak baru saja mengalami musibah yang sangat besar.
Sikap seperti ini akan mendidik anak menjadi manusia manja, yang tidak kuat menahan cobaan hidup. Mereka akan gampang menyerah jika menghadapi masalah.
Saya kira, biarkan sajalah kalau anak kita cuma jatuh biasa. Bilang bahwa jatuh itu biasa, dan yang ia alami tak perlu dikhawatirkan. Kecuali kalau jatuhnya keras sehingga kepalanya benjol, itu lain ceritanya, hehehehe...
3. Menakut-nakuti si anak akan adanya hantu.
Biasanya, cara seperti ini digunakan oleh orang tua jika anak mereka bandel atau tidak bisa diberitahu.
memang, dalam jangka pendek sikap seperti ini biasanya efektif. Tapi untuk jangka panjang, ini justru tidak baik. SI anak akan tumbuh menjadi seorang yang penakut. ia akan takut pada hantu, padahal hanti atau jin sebenarnya tak perlu ditakuti. Mereka adalah makhluk yang jauh lebih rendah dari manusia. Mulai sekarang, kita justru harus menamamkan pengertian pada anak bahwa hantu tak perlu ditakuti. Kita justru harus "anggap remeh" terhadap hantu.
4. Terlalu banyak melarang.
"Jangan nak, nanti kamu jatuh."
"Jangan main air dong, nanti masuk angin."
"Kok makannya belepotan gitu? Jorok tahu!"
"Itu nasi kok dibuang? Kan mubazir!"
Anak adalah jenis manusia yang sedang dalam proses belajar. Jadi wajar dong, kalau mereka sering melakukan kesalahan. Jika mereka membuang nasi misalnya, langkah terbaik bukanlah memarahi mereka dan mengatakan itu mubazir. Tapi alangkah baiknya jika kita memberitahu mereka dengan cara yang lebih menyenangkan, dan bisa diterima oleh pikiran mereka yang masih terbatas.
Terlalu banyak melarang juga akan mendidik anak menjadi manusia yang tidak berani mencoba hal-hal baru.
5. Menganggap si anak sebagai orang bodoh
Kita sering berkata, "Ah, anak kecil, Tahunya apa!"
Padahal, banyak anak kecil yang berhasil menunjukkan kehebatan mereka. Mereka berhasil membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang pintar dan hebat, walau usia masih amat muda.
Saya kira, kita harus menghargai eksistensi setiap anak, apalagi kalau anak sendiri! Kita justru harus memperlakukan mereka sebagai seorang manusia yang berpotensi. Kita tak pernah tahu persis, seberapa besar ilmu pengetahuan yang sudah tersimpan di kepala anak kita. Karena itu, jangan sekali-kali menganggap mereka bodoh, belum tahu apa-apa, dan sebagainya.
Dengan memperlakukan mereka secara wajar, ini akan mendidik anak menjadi seorang manusia yang percaya diri sehingga ia akan lebih mudah meraih sukses.
6. Memarahi anak jika mereka bertanya
Mungkin kita punya anak yang terlalu banyak bertanya. Karena bosan dan jengkel, kita memarahinya, mengatakan mereka cerewet, bahkan menyuruhnya untuk tidak terlalu banyak bertanya.
Padahal, anak yang cerewet atau sering bertanya, sebenarnya adalah anak yang sangat pintar. Mereka ingin tahu banyak hal. Karena itu, cobalah untuk bersabar menghadapi mereka. Jawablah pertanyaan2 mereka sebisa mungkin, dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara seperti ini, kreativitas dan kecerdasan anak akan tumbuh dengan sewajarnya.
* * *
Adakah teman-teman hendak menambahkan, atau ingin mengoreks jika ada yang salah pada tulisan saya?
Ditunggu ya...
wassalam
Cara Mendidik Anak dengan Menghukum/Memukul
Ingin cerita pengalaman saya dengan anak saya Razi. Saya bukan ahli pendidikan, jadi caranya saya meraba-raba saja.
Karena buat anak2 seperti anak kita susah dijelaskan "salah" atau "benar", waktu anak saya Razi dulu waktu masih kecil saya menerapkan "boleh" dan "tidak boleh"
lebih dulu, meski dia tidak ngerti. Saya membatasi ( seperti pernah juga dulu saya cerita ) hal yang "tidak boleh" dilakukannya sesedikit mungkin : yang membahayakan dirinya atau yang membahayakan orang lain ditambah bila hal yang dilakukannya tidak sopan. Diluar itu semua "boleh" ( kawatir kalau banyak yang tidak boleh malah membuat dia tidak berkembang samasekali). Untuk anak saya, saya pikir berhasil, karena sekarang ( 13 tahun ) dia patuh dan juga sayang kepada kami orang tuanya.
Yang jelas harus ada kesatuan pendapat antara Bapaknya dan Ibunya. jangan sampe yang "boleh" sama ibunya tapi "tidak boleh " sama bapaknya. Akibatnya si Bapak meghukum, si ibu membela, maka si anak akan bingung.
Untuk yang "tidak boleh" disamping dengan mulut dan ekspresi marah, saya juga menggunakan tangan ( cara ini mungkin banyak ibu atau bapak anggota milis yang tidak setuju, apa boleh buat ). Kalau hal itu dilakukannya maka sambil melarang saya memukul pantatnya atau kalau tidak mempan saya akan mecubit pantatnya sampai dia nangis, lalu saya biarkan nangis sampai berhenti. Saya larang siapa saja membujuk, atau berlaku manis dalam kurun waktu itu, termasuk ibunya. kalau diulang lagi saya akan kembali memukul atau mencubit pantatnya juga sampai dia nangis.
Sesudah dia merasa tidak ada yang membelanya dan berhenti menangis baru saya perlakukan kembali sebagaimana biasa, merangkulnya atau bicara dengan dia, untuk menunjukkan bahwa saya sebenarnya sangat sayang sama dia.
Ada beberapa hal yang "tidak boleh" itu dilakukannya di tempat publik misalnya di pertemuan keluarga, di supermarket atau bahkan disekolahnya. Saya tetap
menghukumnya ( meski isteri saya marah-2 pada saya, karena malu ) dengan cara itu ditempat kejadian. Misalnya di supermarket dia mengayun-2 kan kayu panjang tanpa peduli dengan orang yang rame disekelilingnya.
Sesudah agak gedean ( umur 6 - 8 tahun ) dia main perosotan di pegangan tangga antar lantai atau lari2 naik turun eskalator yang lagi jalan. Saya uber dan saya pukul
ditempat itu juga. Mungkin pengunjung melihat saya seperti ayah yang kejam yang senang mukul anak. Apa boleh buat, masalahnya kalau saya tunggu sampe ke rumah baru marah, karena rentang ingatannya yang pendek, kalo dirumah mungkin dia bingung saya marahin dia soal apa ( dia sudah lupa kelakuannya di keramaian diatas ), jadi bisa jadi kemarahan saya tidak efektip.
Atau di rumah, meniru yang dilakukan tukang memperbaiki genteng rumah saya, pernah dua kali anak saya naik ke atas genteng ( waktu saya ada dirumah ) dan jalan mondar mandir di puncak atap dengan santai sampe tukang becak dan tetangga yang ada disekitar rumah teriak2 menyuruh turun ( ini juga dulu pernah saya ceritakan ). saya bujukin dia supaya turun, saya janjikan Mc Donald, pizza atau apa saja yang dia suka. Begitu dia menginjak lantai saya "hajar" pantatnya sampai dia nangis dengan ekspresi marah.
Baru sesudah reda tangisnya dan juga kemarahan saya ( lebih tepat ketakutan saya ), saya bawa dia membeli yang saya janjikan itu, cukup jauh tempatnya lebih kurang sejam naik mobil ke BSD atau Bintaro dari rumah saya di Pamulang. Padahal makannya cuma butuh waktu lima menit, belum keluar dari lapangan parkir, yang dimakannya udah habis.
Yang tidak sopan, pernah satu kali di mesjid dia menunjuk-2 ke arah mulut seorang Bapak2 yang sudah agak tua. Si Bapak mulutnya sumbing. Saya coba jelaskan, bahwa mulut Bapak itu luka, belum sembuh. Dia seperti terpesona terus memelototi si bapak. Akhirnya saya angkat tangan saya, sambil ngomong : kalau terus begitu Razi nanti saya pukul. Baru dia berhenti ngeliat si bapak. Jadi saya urung memukulnya.
Syukurlah, paling banyak dua atau tiga kali saya perlu menghukum untuk kelakuan yang sama. Sisanya bila ada yang "tidak boleh" dilakukannya, paling paling saya cuma perlu ngomong atau dengan gerak mengancam mengangkat tangan saya siap memukul dia langsung surut. Dan lebih syukur lagi beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi saya harus menggunakan tangan seperti dulu itu, dia sudah ngerti
kalau dibilang tidak boleh dan sekarang sudah mengerti sedikit demi sedikit "salah" dan "benar". Dia bisa membedakan kalau saya lagi bercanda, atau lagi marah.
Kalau saya tendang pantatnya secara main2, dia pasti nguber saya buat ngebalas. Tapi kalo dia liat saya marah, dia sudah buru2 minta maaf, biarpun saya tidak nyenggol
dia sekalipun.
Biar bagaimana Bu, ini cara yang pernah saya terapkan buat anak saya. belum tentu berhasil buat yang lain. Kalau terpaksa, mungkin Ibu bisa pake cara ini, kalo ada cara lain yang kurang "vulgar", ya lebih baik pake cara itu.
Wassalam,
Karena buat anak2 seperti anak kita susah dijelaskan "salah" atau "benar", waktu anak saya Razi dulu waktu masih kecil saya menerapkan "boleh" dan "tidak boleh"
lebih dulu, meski dia tidak ngerti. Saya membatasi ( seperti pernah juga dulu saya cerita ) hal yang "tidak boleh" dilakukannya sesedikit mungkin : yang membahayakan dirinya atau yang membahayakan orang lain ditambah bila hal yang dilakukannya tidak sopan. Diluar itu semua "boleh" ( kawatir kalau banyak yang tidak boleh malah membuat dia tidak berkembang samasekali). Untuk anak saya, saya pikir berhasil, karena sekarang ( 13 tahun ) dia patuh dan juga sayang kepada kami orang tuanya.
Yang jelas harus ada kesatuan pendapat antara Bapaknya dan Ibunya. jangan sampe yang "boleh" sama ibunya tapi "tidak boleh " sama bapaknya. Akibatnya si Bapak meghukum, si ibu membela, maka si anak akan bingung.
Untuk yang "tidak boleh" disamping dengan mulut dan ekspresi marah, saya juga menggunakan tangan ( cara ini mungkin banyak ibu atau bapak anggota milis yang tidak setuju, apa boleh buat ). Kalau hal itu dilakukannya maka sambil melarang saya memukul pantatnya atau kalau tidak mempan saya akan mecubit pantatnya sampai dia nangis, lalu saya biarkan nangis sampai berhenti. Saya larang siapa saja membujuk, atau berlaku manis dalam kurun waktu itu, termasuk ibunya. kalau diulang lagi saya akan kembali memukul atau mencubit pantatnya juga sampai dia nangis.
Sesudah dia merasa tidak ada yang membelanya dan berhenti menangis baru saya perlakukan kembali sebagaimana biasa, merangkulnya atau bicara dengan dia, untuk menunjukkan bahwa saya sebenarnya sangat sayang sama dia.
Ada beberapa hal yang "tidak boleh" itu dilakukannya di tempat publik misalnya di pertemuan keluarga, di supermarket atau bahkan disekolahnya. Saya tetap
menghukumnya ( meski isteri saya marah-2 pada saya, karena malu ) dengan cara itu ditempat kejadian. Misalnya di supermarket dia mengayun-2 kan kayu panjang tanpa peduli dengan orang yang rame disekelilingnya.
Sesudah agak gedean ( umur 6 - 8 tahun ) dia main perosotan di pegangan tangga antar lantai atau lari2 naik turun eskalator yang lagi jalan. Saya uber dan saya pukul
ditempat itu juga. Mungkin pengunjung melihat saya seperti ayah yang kejam yang senang mukul anak. Apa boleh buat, masalahnya kalau saya tunggu sampe ke rumah baru marah, karena rentang ingatannya yang pendek, kalo dirumah mungkin dia bingung saya marahin dia soal apa ( dia sudah lupa kelakuannya di keramaian diatas ), jadi bisa jadi kemarahan saya tidak efektip.
Atau di rumah, meniru yang dilakukan tukang memperbaiki genteng rumah saya, pernah dua kali anak saya naik ke atas genteng ( waktu saya ada dirumah ) dan jalan mondar mandir di puncak atap dengan santai sampe tukang becak dan tetangga yang ada disekitar rumah teriak2 menyuruh turun ( ini juga dulu pernah saya ceritakan ). saya bujukin dia supaya turun, saya janjikan Mc Donald, pizza atau apa saja yang dia suka. Begitu dia menginjak lantai saya "hajar" pantatnya sampai dia nangis dengan ekspresi marah.
Baru sesudah reda tangisnya dan juga kemarahan saya ( lebih tepat ketakutan saya ), saya bawa dia membeli yang saya janjikan itu, cukup jauh tempatnya lebih kurang sejam naik mobil ke BSD atau Bintaro dari rumah saya di Pamulang. Padahal makannya cuma butuh waktu lima menit, belum keluar dari lapangan parkir, yang dimakannya udah habis.
Yang tidak sopan, pernah satu kali di mesjid dia menunjuk-2 ke arah mulut seorang Bapak2 yang sudah agak tua. Si Bapak mulutnya sumbing. Saya coba jelaskan, bahwa mulut Bapak itu luka, belum sembuh. Dia seperti terpesona terus memelototi si bapak. Akhirnya saya angkat tangan saya, sambil ngomong : kalau terus begitu Razi nanti saya pukul. Baru dia berhenti ngeliat si bapak. Jadi saya urung memukulnya.
Syukurlah, paling banyak dua atau tiga kali saya perlu menghukum untuk kelakuan yang sama. Sisanya bila ada yang "tidak boleh" dilakukannya, paling paling saya cuma perlu ngomong atau dengan gerak mengancam mengangkat tangan saya siap memukul dia langsung surut. Dan lebih syukur lagi beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi saya harus menggunakan tangan seperti dulu itu, dia sudah ngerti
kalau dibilang tidak boleh dan sekarang sudah mengerti sedikit demi sedikit "salah" dan "benar". Dia bisa membedakan kalau saya lagi bercanda, atau lagi marah.
Kalau saya tendang pantatnya secara main2, dia pasti nguber saya buat ngebalas. Tapi kalo dia liat saya marah, dia sudah buru2 minta maaf, biarpun saya tidak nyenggol
dia sekalipun.
Biar bagaimana Bu, ini cara yang pernah saya terapkan buat anak saya. belum tentu berhasil buat yang lain. Kalau terpaksa, mungkin Ibu bisa pake cara ini, kalo ada cara lain yang kurang "vulgar", ya lebih baik pake cara itu.
Wassalam,
Pola asuh anak
Ada 3 Macam Pola asuh yang selama ini digunakan dalam masyarakat yakni Pola Asuh Koersif, Pola Asuh Permisif dan Pola Asuh dialogis.
Pola -pola Asuh ini tidak pernah lepas dari konteks sosial suatu masyarakat. Dan bahkan tingkah laku anak hanya dapat dipahami dengan konteks sosialnya.
Ketiga bentuk pola asuh ini datang silih berganti, sejarahnya sudah 8000 tahun. Kadang-kadang koersif lebih dominan, lalu menyusul permisif kemudian datanglah dialogis untuk mengembalikan manusia ke jalan para nabi dan Rasul .
Pola Asuh Koersif berasal dari satu fase masyarakat otokratis. Suatu masyarakat yang meyakini bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengatur perilaku kelompok lain( yang inverior) karena merasa memiliki superioritas .
Sebagian besar kita para orang tua mewarisi pola Asuh yang kita dapatkan secara turun temurun dari orang tua kita.
Lalu sering kali timbul dalam benak kita, dulu orang tua kita menggunakan pola Asuh koersif dan ternyata mereka berhasil menghantarkan kita seperti apa yang kita rasakan saat ini. Namun pada saat kita mencoba menerapkan persis apa yang telah orang tua kita polakan kepada kita kenapa yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan ?
Ternyata penyebabnya adalah karena telah terjadi pergeseran nilai tatanan dalam masyarakat tempat anak-anak kita dibesarkan yang ternyata jauh berbeda dengan masyarakat tempat dahulu kita dan orang tua kita dibesarkan.
Dahulu masyarakat berada pada fase otokrasi sedang sekarang sudah cenderung kepada fase permisif, sehingga banyak orang tua dibuat tak berdaya oleh anak-anak mereka yang beberapa tahun lalu masih nunut saja dengan keinginan mereka, sekarang sudah mahir untuk membrontak dan lebih-lebih lagi mereka dilindungi oleh undang-undang.
1. Pola Asuh Koersif : tertib tanpa kebebasan
Pola Asuh koersif hanya mengenal Hukuman dan Pujian dalam berinteraksi dengan anak. Pujian akan diberikan mana kala anak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua. Sedangkan hukuman akan diberikan manakala anak tidak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua.
Akibat penerapan pola asuh koersif ini akan muncul empat tujuan anak berperilaku negatif yakni :
Mencari perhatian, Unjuk kekuasaan , Pembalasan dan Penarikan diri.
Ketika seorang anak dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan keinginan orang tua dan dengan cara yang dikehendaki olah orang tua maka anak akan kembali menuntut orang tuanya untuk memberikan perhatian atau pujian kepadanya. Sebaliknya jika anak tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya maka dia akan merasa hidupnya tidak berharga maka dia akan menarik dirinya dari kehidupan.
Pada saat orang tua menghukum anak karena anak tidak mematuhi keinginannya maka anak akan belajar untuk mencari kekuasaan karena dia merasakan bahwa karena dia tidak memiliki kekuasaanlah dia jadi terhina, jika dia tidak mendapatkan kekuasaan tersebut maka dia akan menanti-nanti saat yang tepat baginya untuk membalasi semua perilaku tak enak yang dia terima selama ini.
Orang tua yang koersif beranggapan bahwa mereka dapat merubah perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut dengan cara mencongkel perilaku itu lalu menggantikannya dengan perilaku yang mereka kehendaki tanpa memperdulikan perasaan anaknya.
2. Pola Asuh Permisif : bebas tanpa ketertiban.
Pola asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh. Orang tua merasa bahwa pola asuh koersif tidak sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, sebagai pengambil keputusan yang aktif, penuh arti dan berorientasi pada tujuan dan memiliki derajat kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri. Namun disisi lain orang tua tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap putra putir mereka, sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak mereka kepada masyarakat dan media masa yang ada. Sambil berharap suatu saat akan terjadi keajaiban yang datang untuk menyulap anak-anak mereka sehingga menjadi pribadi yang soleh dan sholehah.
Di satu sisi orang tua tidak tahu apa yang baik untuk anaknya, disisi yang lain anak menafsirkan ketidak berdayaan orang tua mereka dengan "orang tua tidak punya pengharapan terhadap mereka."
Akibatnya anak akan terjebak kepada gaya hidup yang serba boleh persis tepat dan sesuai dengan pola yang berlaku pada masyarakat tempat dia dibesarkan saat ini. Di satu sisi orang tua akan selalu menanggung semua akibat perilaku anaknya tanpa mereka sendiri menyadari hal ini.
3. Pola Asuh Dialogis : tertib dengan kebebasan.
Pola Asuh ini datang sebagai jawaban atas ketiadaannya pola asuh yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia . Dia merupakan pola asuh yang diwajibkan oleh Allah swt terhadap para utusannya. Berpijak kepada dorongan dan konsekuensi dalam membangun dan memelihara fitrah anak. orang tua menyadari bahwa anak adalah amanah Allah swt pada mereka dia merupakan makhluk yang aktif dan dinamis. Aktivitas mereka bertujuan agar mereka dapat diakui keberadaannya, diterima kontribusinya dan dicintai dan dimiliki oleh keluarganya.
Dalam memperbaiki kesalahan ,anak orang tua menyadari bahwa kesalah itu muncul karena mereka belum trampil dalam melakukan kebaikan, sehingga mereka akan mencoba untuk membangun ketrampilan tersebut dengan berpijak kepada kelebihan yang anak miliki, lalu mencoba untuk memperkecil hambatan yang mebuat anak berkecil hati untuk memulai kegiatan yang akan menghantarkan mereka kepada kebaikan tersebut. Lalu juga orang tua akan berusaha menerima keadaan anak apa adanya tanpa membanding-bandingkan mereka dengan orang lain atau bahkan saudara kandung mereka sendiri, atau teman bermainnya.
Orang tua akan membiasakan diri berdialog dengan anak dalam menemani pertumbuh -kembangan anak mereka. setiap kali ada persoalan anak dilatih untuk mencari akar persoalan, lalu diarahkan untuk ikut menyelesaikan secara bersama.
Dengan demikian anak akan merasakan bahwa hidupnya penuh arti sehingga dengan lapang dada dia akan merujuk kepada orang tuanya jika dia mempunyai persoalan dalam kehidupannya. Yang berarti pula orang tua dapat ikut bersama anak untuk mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan anak-anak setiap saat.
Selain itu orang tua yang dialogis akan mebrusaha mengajak anak agar terbiasa menerima konsekuensi secara logis dalam setiap tindakannya. sehingga anak akan menghindari keburukan karena dia sendiri merasakan akibat perbuatan buruk itu, bukan karena desakan dari orang tuanya.
Memilih sekolah untuk anak
oleh Rika Yuana Kusumah Dewi
Tiap orangtua tentu akan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik buat putra-putrinya bahkan sejak usia prasekolah. Peranan pendidikan prasekolah dianggap makin penting karena diyakini bisa memberikan landasan yang kuat untuk tingkatan sekolah selanjutnya.
* Kurikulum yang digunakan. Apakah kurikulum yang digunakan sudah tepat? Sudahkah program dalam kurikulum yang diterapkan terarah sesuai dengan kelompok umur, berdasarkan minat anak sehingga dapat meningkatkan perkembangan fisik, intelektual, sosial emosional dan kemampuan berkomunikasi untuk mengemukakan pendapatnya. Sebaiknya kegiatan dirancang dengan konsep "belajar sambil bermain" sehingga anak-anak dapat betah "belajar", dan merangsang keterlibatan anak secara aktif dalam segala aktivitas sehingga dapat meningkatkan kemandirian anak.
Tiap orangtua tentu akan berusaha memberikan pendidikan yang terbaik buat putra-putrinya bahkan sejak usia prasekolah. Peranan pendidikan prasekolah dianggap makin penting karena diyakini bisa memberikan landasan yang kuat untuk tingkatan sekolah selanjutnya.
BELAKANGAN ini, di Indonesia ada banyak sekali tawaran program pendidikan bagi anak-anak usia prasekolah, seperti kelompok bermain (play group) dan taman kanak-kanak (TK). Orangtua harus memilihkan anaknya pendidikan prasekolah yang tepat. Karena, jika keliru memilih tempat, tak hanya berarti kerugian secara finansial, juga risiko mempertaruhkan anak menghadapi masa depannya. Lalu, bagaimanakah memilih tempat pendidikan prasekolah yang tepat yang sesuai dengan keinginan dan juga kemampuan keuangan keluarga?
Berikut ini adalah beberapa pertimbangan praktis dalam memilih prasekolah yang tepat. Sebelum memutuskan memilih tempat pendidikan prasekolah, orangtua bisa mempertanyakan beberapa hal berikut.
* Kurikulum yang digunakan. Apakah kurikulum yang digunakan sudah tepat? Sudahkah program dalam kurikulum yang diterapkan terarah sesuai dengan kelompok umur, berdasarkan minat anak sehingga dapat meningkatkan perkembangan fisik, intelektual, sosial emosional dan kemampuan berkomunikasi untuk mengemukakan pendapatnya. Sebaiknya kegiatan dirancang dengan konsep "belajar sambil bermain" sehingga anak-anak dapat betah "belajar", dan merangsang keterlibatan anak secara aktif dalam segala aktivitas sehingga dapat meningkatkan kemandirian anak.
* Adanya Rancangan Aktivitas yang menarik dan patut. Sebaiknya aktivitas anak dirancang sebagai pelaksanaan dari rencana program yang telah disebutkan di atas. Aktivitas harus bervariasi sehingga anak-anak tak merasa cepat bosan. Tiap aktivitas seharusnya dilengkapi alat bantu/peraga yang menarik bagi anak. Misalnya untuk pengenalan huruf dan angka, sebaiknya menggunakan balok-balok huruf dan angka yang berukuran agak besar dengan warna-warni. Anak-anak dibiasakan mengikuti pembacaan cerita oleh guru untuk merangsang minat baca anak. Buku cerita sebaiknya bergambar jelas dengan warna menarik. Aktivitas lain yang biasa diberikan untuk mencegah kebosanan anak, antara lain memasang balok-balok (lego), melukis, bernyanyi, menari yang diiringi lagu/musik, bermain komputer dan menonton (video) program anak-anak. Anak-anak juga perlu diajak bermain di luar ruangan seperti menggunakan ayunan, prosotan, bermain air dan pasir. Jenis mainan harus sesuai dengan kelompok umur agar tidak membahayakan.
* Lama sekolah. Pengalaman menunjukkan, makin pendek waktu sekolah anak dan/atau makin jarang mereka mengikuti program dalam seminggu, makin stres anak mengikuti program prasekolah. Ini terjadi karena secara psikologis anak mengalami proses adaptasi dengan lingkungan sekolahnya setelah hampir seharian penuh di rumah bersama orangtua atau pengasuh. Proses adaptasi ini perlu waktu yang tak cepat sesuai dengan pribadi masing-masing anak. Hanya sedikit anak yang dapat cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Faktor yang menghambat proses adaptasi anak dalam aktivitas prasekolah adalah rasa kedekatan yang berlebihan dengan orangtua atau pengasuhnya. Anak umumnya minta ditunggui pada saat mengikuti prasekolah. Tak jarang orangtua atau pengasuhnya harus ikut masuk kelas menunggu si anak. Proses berpisah antara anak dengan orangtua atau pengasuh pada saat mengikuti prasekolah inilah yang sangat menghambat keberanian dan kemandirian anak.
Jika program pendidikan prasekolah hanya dilaksanakan dalam waktu 2 jam sehari, maka pada saat naluri keberanian anak mulai muncul ternyata anak sudah harus pulang karena bel tanda pulang sudah berbunyi. Demikian juga halnya dengan program prasekolah yang hanya tiga kali seminggu menyebabkan anak harus mengulangi proses adaptasinya tiap kali datang ke sekolah karena kemarinnya seharian anak bersama orangtua atau pengasuh di rumah. Kedua hal di atas akan menghambat keberanian anak sehinggga kelihatannya tak ada kemajuan yang menyenangkan terhadap keberanian dan kemandirian anak. Hal ini seringkali memusingkan dan membuat para orangtua frustrasi dan menganggap si anak belum siap untuk mengikuti program prasekolah.
Kalau program prasekolah dibuat lebih lama dan rutin, misalnya 4 jam dalam sehari selama 5 - 6 kali seminggu, maka anak akan lebih mudah mengikuti program yang direncanakan dan lebih leluasa mengekspresikan dirinya, karena mereka sudah melewati masa adaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Belajar dari pengalaman bahwa sampai kurun waktu tertentu, anak justru tidak mau pulang karena mereka telah "menemukan" dirinya dalam lingkungannya, yaitu punya teman bermain dan sudah beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya (guru-guru). Anak pada kondisi ini sudah mulai bisa menguasai dirinya sendiri, punya rasa percaya diri yang pada akhirnya anak akan berani dan mandiri. Hal ini akan dapat dicapai apabila didukung oleh program-program yang menarik yang mampu merangsang anak untuk tergabung dan larut dalam kelompoknya.
* Rasio jumlah guru dan anak. Rasio antara jumlah guru dan anak sangat ditentukan usia anak. Jika tempat prasekolah itu menyediakan fasilitas penitipan bayi, maka rasio yang baik adalah satu orang pengasuh menangani maksimum empat bayi (0-2 tahun). Jumlah bayi dalam satu kelompok berkisar 8-10 bayi. Agar efektif, satu kelompok terdiri dari 10 bayi dan diasuh oleh 3 orang pengasuh. Untuk program Kelompok Bermain/Playgroup (2-4 tahun), maksimum rasionya adalah satu guru menangani 10 anak. Satu kelas yang efektif berisi 20-25 anak, diasuh 2 guru dan seorang asisten. Sedangkan untuk TK (5-6 tahun), rasio ideal adalah satu guru menangani 10 anak. Untuk dapat efektif, jumlah anak maksimum tiap kelas TK adalah 25-30 anak (tergantung besar/kecilnya ruangan yang digunakan), diasuh 2 guru dan seorang asisten.
* Kenyamanan dan keamanan anak. Perhatikan fasilitas yang dimiliki seperti gedung, ruang kelas, sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas anak seperti media pengajaran dan tempat untuk bermain. Walau tidak selalu harus memilih sekolah dengan gedung bagus, namun aspek nyaman, bersih, indah dan aman harus terdapat di sekolah yang akan kita pilih. Telitilah media pengajaran yang dipergunakan seperti buku-buku dan alat bantu belajar lainnya. Perhatikan alat permainan yang dimiliki — aktivitas dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (outdoor)
– apakah sudah sesuai dengan harapan? Aspek keamanan dan kenyamanan dalam aktivitas anak sangat penting diperhatikan untuk menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Misalnya untuk aktivitas outdoor, apakah dilakukan di atas tanah yang telah ditanami rumput atau diatas pasir putih atau ditutup dengan karpet untuk mengurangi efek benturan seandainya ada anak yang terbentur ke tanah akibat terjatuh dari tempat mainannya? Perhatikan pula jenis mainan yang disediakan, ukuran dan bahan yang digunakan harus aman dan tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan anak.
* Kenali Guru yang akan mendidik anak kita karena ini terkait dengan figur atau model kedua yang sedang diamati oleh sang anak. Usahakan untuk memilih sekolah dengan Guru yang memiliki karakter baik dan kuat. Selain itu, kenali juga lingkungan sekolahnya karena iklim sekolah akan berpengaruh juga terhadap anak-anak kita.
* Penerapan disiplin. Guru atau pengasuh sebaiknya memakai pendekatan positif dalam memberikan pengarahan dan menerapkan disiplin terhadap anak. Memberikan contoh kepada anak adalah cara yang terbaik sehingga anak-anak tidak akan merasa stres dan terbebani untuk mengikuti disiplin yang ditetapkan.
* Pemeriksaan kesehatan. Kesehatan anak berpengaruh besar tehadap perkembangan anak. Carilah kejelasan, apakah tempat prasekolah itu menyediakan sarana pemeriksaan kesehatan secara rutin oleh tenaga medis (dokter/perawat).
* Program kunjungan. Kunjungan ke tempat-tempat yang menarik dan penting akan menambah wawasan bagi anak-anak anda. Apakah kunjungan tersebut dilakukan secara berkala dan terorganisasi dengan baik? Apakah diperlukan persetujuan orangtua untuk mengikutsertakan anak mereka dalam kegiatan ini dan bagaimana peranan orangtua dalam kegiatan ini? Apakah perlu mambayar untuk kegiatan ekstra atau biayanya sudah termasuk dalam uang sekolah?
* Perbedaan budaya dan agama. Perlu ditanyakan apakah sekolah/guru akan memberikan perlakuan yang sama terhadap semua anak? Ini penting untuk meyakinkan bahwa semua anak akan memperoleh perhatian dan perlakuan yang sama dengan menghargai perbedaan agama dan latar belakang budaya. Ini barangkali juga akan diperlukan bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di luar negeri.
Sejumlah informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih tempat pendidikan prasekolah yang terbaik bagi anak. Tentunya harus tetap memperhatikan kondisi keuangan keluarga karena makin berkualitas fasilitas dan program yang ditawarkan maka makin mahal biayanya.
7 Kecerdasan dan sekolah
Di dalam buku Frames of Mind yang terbit tahun 1983, seorang psikolog bernama Howard Gardner menyimpulkan hasil risetnya yang mengatakan bahwa sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan:
- Kecerdasan linguistik, berkaitan dengan kemampuan bahasa dan penggunaannya. Orang-orang yang berbakat dalam bidang ini senang bermain-main dengan bahasa, gemar membaca dan menulis, tertarik dengan suara, arti dan narasi. Mereka seringkali pengeja yang baik dan mudah mengingat tanggal, tempat dan nama.
- Kecerdasan musikal, berkaitan dengan musik, melodi, ritme dan nada. Orang-orang ini pintar membuat musik sendiri dan juga sensitif terhadap musik dan melodi. Sebagian bisa berkonsentrasi lebih baik jika musik diperdengarkan; banyak dari mereka seringkali menyanyi atau bersenandung sendiri atau mencipta lagu serta musik.
- Kecerdasan logis-matematis, berhubungan dengan pola, rumus-rumus, angka-angka dan logika. Orang-orang ini cenderung pintar dalam teka-teki, gambar, aritmatika, dan memecahkan masalah matematika; mereka seringkali menyukai komputer dan pemrograman.
- Kecerdasan spasial, berhubungan dengan bentuk, lokasi dan mebayangkan hubungan di antaranya. Orang-orang ini biasanya menyukai perancangan dan bangunan, disamping pintar membaca peta, diagram dan bagan.
- Kecerdasan tubuh-kinestetik, berhubungan dengan pergerakan dan ketrampilan olah tubuh. Orang-orang ini adalah para penari dan aktor, para pengrajin dan atlet. Mereka memiliki bakat mekanik tubuh dan pintar meniru mimik serta sulit untuk duduk diam.
- Kecerdasan interpersonal, berhubungan dengan kemampuan untuk bisa mengerti dan menghadapi perasaan orang lain. Orang-orang ini seringkali ahli berkomunikasi dan pintar mengorganisasi, serta sangat sosial. Mereka biasanya baik dalam memahami perasaan dan motif orang lain.
- Kecerdasan intrapersonal, berhubungan dengan mengerti diri sendiri. Orang-orang ini seringkali mandiri dan senang menekuni aktifitas sendirian. Mereka cenderung percaya diri dan punya pendapat, dan memilih pekerjaan dimana mereka bisa memiliki kendali terhadap cara mereka menghabiskan waktu.
Menurut Gardner, masing-masing dari kita memiliki sebuah kombinasi dari kecerdasan-kecerdasan ini. Setiap orang mempunyai kekuatan relatif dari tiap kecerdasan di atas sedemikian rupa sehingga orang tersebut cenderung menentukan pilihan aktifitas apapun yang dia sukai tanpa keterpaksaan. Kita menyebutnya sebagai bakat.
Dari sini kita bisa mengukur sejauh mana cakupan pendidikan yang pernah kita terima saat duduk dibangku SD hingga perguruan tinggi? Rasanyan, kebanyakan institusi pendidikan di Indonesia memberikan porsi yang besar terfokus pada pembangunan kecerdasan logis-matematis. Bahkan secara tak sadar masyarakat kitapun cenderung memberikan apresiasi yang berlebihan bagi orang yang memiliki kecerdasan logis-matematis. Banyak orang tua yang merasa prihatin bila mendapatkan anak-anaknya lemah dalam hal yang berbau logis-matematis. Keprihatinan tersebut mendorong para orang tua untuk memasukan anak-anaknya ke tempat bimbingan belajar atau mencari guru private yang mampu mengajarkan anaknya tentang dunia logis-matematis. Namun sesungguhnya mereka tidak mengajarkan apapun, yang jelas mereka melakukan pemaksaan terhadap suatu hal yang memang bukanlah bakat sang anak.
Lalu dimana anak-anak kita bisa mendapatkan ruang dan waktu yang bisa menumbuhkan dan menyalurkan atau setidaknya mengakomodir bakat mereka? Jawaban yang pasti adalah diluar sekolah. Saatnya kita harus berfikir untuk mendidik tanpa sekolah. Bagaimana caranya memberikan pendidikan tanpa sekolah? Wallahu’alam.
Masa kecil
Anak unggulan pasti jadi dambaan tiap orang tua. Unggul di luar, unggul di dalam. Luar, jika dinilai dari bentuk fisik dan kesehatannya. Dan dalam, diukur dari tingkat kecerdasan dan kesalehannya.
Memang, ada keunggulan-keunggulan yang mesti diupayakan. Bisa dari gizi, lingkungan rumah, dan mutu pendidikan. Tapi, ada juga yang memang ’sudah dari sananya’. Begitu orang tua di saat kecil, begitu pula keadaan sang anak. Jadi, nggak usah heran jika anak berperilaku rewel. Karena boleh jadi, begitulah keadaan ayah atau ibunya ketika kecil.
Masalahnya, dari pihak mana sifat rewel itu muncul. Dari ibu, atau dari ayah. Karena umumnya, orang cuma mengakui sifat turunan positif. Dan melupakan semua yang negatif. Motonya sederhana, "Rewel? Nggak pernah tuh!" Rasa itulah yang kini dialami Bu Heni.
Ibu tiga anak ini kadang dibuat bingung sama anak ketiganya. Walau baru berusia tiga tahun, ulah si bungsu bisa mengalahkan dua kakaknya yang sudah di TK dan SD. Cuma sayangnya, kelebihannya justru pada yang negatif: hobi menangis, susah diatur, dan sering berperilaku kurang bersih.
Bayangkan, si bungsu bisa menangis melebihi rata-rata kakaknya. Kalau kakaknya menangis paling lama setengah jam di usia yang sama, si bungsu bisa hampir sepuluh kali lipat. Jadi, kalau si bungsu mulai merengek dan menangis di saat film India baru mulai, menangisnya baru akan usai ketika film hampir habis. Hampir tiga jam, Bu Heni ’dipaksa’ menyimak ekspresi duka si bungsu.
Belum lagi urusan makan. Di yang satu ini, kapasitas tidak berbanding lurus dengan usia. Biar usia beda dua dan empat tahun, soal jatah makan tetap sama. Kalau si kakak dapat satu mangkuk bubur ayam, begitu pun dengan si bungsu. Kalau kakak-kakaknya satu gelas es teler, begitu pun ukuran minimal buat si bungsu. Beda umur, satu takaran.
Kadang Bu Heni bingung sendiri. Kok yang satu ini beda banget sama yang lain. "Lebih merepotkan. Kira-kira mirip siapa ya?" batin Bu Heni berbisik pelan. Bu Heni mulai menerawang. Sejauh itu, Bu Heni sangat yakin kalau masa kecilnya tak seperti si bungsu. Ibunya pernah cerita kalau dulu ia begitu kalem, jarang nangis, juga penurut. Kalau si bungsu tidak mirip dia, siapa lagi yang patut dituduhkan kalau bukan suami Bu Heni.
Mas kecilnya rewel, ya?" tanya Bu Heni suatu kali. Suaminya cuma bisa ngasih senyum. Itulah mungkin tanda setuju yang paling lembut dari seorang suami. Sekali lagi, mungkin! Sepertinya, suami Bu Heni tak mau menyoal urusan masa kecil. Kalau toh si bungsu memang mirip dengan ayahnya di waktu kecil, apa yang salah? Toh. ia memang ayah kandungnya. Beberapa tahun ke depan pun, sang anak akan berubah. Jadi, kenapa mesti dibicarakan.
Tapi. Bu Heni masih tetap penasaran. Ia baru benar-benar yakin ketika itu mertuanya cerita soal suaminya waktu kecil. "Suamimu dulunya memang rewel. Uh, rewel sekali! Udah gitu. makannya juga banyak. ungkap ibu mertuanya suatu kali. "Tapi," lanjut sang ibu mertua. "Anak laki semata wayang ibu itu selalu mandi tepat waktu!" ujar ibu mertua Bu Heni menambahkan.
Kalimat terakhir itu, dipahami Bu Heni sebagai penyeimbang. Supaya Bu Heni melihat sisi positifnya. Sampai di situ, Bu Heni sangat setuju. Karena hingga kini pun, suaminya memang selalu tampil perlente: rapi, bersih, dan wangi. Kalau harus dikasih pilihan sewaktu pulang kerja: makan dulu atau mandi dulu? Bu Heni yakin, suaminya pasti memilih mandi dulu.
Yang jadi pertanyaan, dari mana si bungsu bisa berperilaku kurang bersih: susah mandi, sering main tanah, dan pipis sembarangan. Kalau soal itu, Bu Heni jadi tersudut sendiri. Jangan-jangan….
"Kamu dulu memang suka jorok, Hen!" ucap ibu kandung Bu Heni suatu hari. Tentu saja, ucapan sang ibu menyentak hati Bu Heni. Jorok gimana? "Maksud ibu, jorok gimana?" tanya Bu Heni agak kaget. Tapi, yang ditanya cuma senyum. "Apa Heni dulu jarang mandi, Bu?" tanya Bu Heni ke ibunya. "Tidak! Sering kok!" jawab sang ibu. "Apa Heni dulu sering pipis sembarangan, Bu?" tanya Bu Heni lagi membandingkan dengan si bungsu. "Nggak!" tegas sang ibu menihilkan kecurigaan Bu Heni tentang masa kecilnya. "Lalu jorok yang seperti apa. Bu?" Bu Heni kian mendesak. "Si Bungsu sehat-sehat saja kan, Hen!" ucap sang ibu mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tentu saja, cerita ibu kandung Bu Heni tidak memuaskan Bu Heni. Di satu sisi. ia memang lega. Karena sudah jelas, suaminyalah yang punya masa kecil seperti si bungsu: rewel! Tapi, apa yang dimaksud ibu kandung Bu Heni tentang masa kecil Bu Heni yang jorok itu?
Setahu Bu Heni, si bungsu malas sekali mandi dan suka main tanah kotor. Tapi, semua itu sudah terbantahkan kalau itu mirip Bu Heni. Bu Heni lagi-lagi bingung. Ia masih sangat penasaran dengan ucapan ibunya soal jorok itu. "Jorok seperti apa, ya?" rasa penasaran Bu Heni kian menjadi.
Bu Heni memperhatikan tingkah si bungsu dari balik kaca jendela. Berlari-larian kesana kemari. Dan suatu kali, si bungsu tampak diam. Ia begitu asyik melakukan sesuatu: jari telunjuknya masuk ke lubang hidung beberapa saat. Setelah itu, jari yang sama masuk juga ke mulut. Dan ini lebih lama dari yang pertama. Terdengar pelan dari mulut si bungsu, "Mmm…, acin!"
"Astaghfirullah!" sontak, mata Bu Heni terbelalak. Rasa penasarannya terasa seperti sudah terjawab. –
Motivasi dari dalam diri
Dua kelompok anak SD diminta untuk membaca suatu tulisan. Satu kelompok diberitahu bahwa mereka akan diuji mengenai bacaan mereka; kelompok lain tidak diberitahu mengenai ujian tersebut. Saat kedua kelompok itu diuji, kelompok yang diberitahu akan ada ujian menunjukkan ingatan mekanik yang lebih baik, tapi kelompok yang tidak diberitahu akan ada ujian memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai konsep yang terkandung didalam bacaan. Yang menarik, satu minggu setelah ujian, para peneliti kembali lagi untuk menguji masing-masing kelompok tadi. Seperti yang mereka kira, tidak satupun dari anak-anak itu mengingat bacaan sebanyak ujian yang pertama. Meskipun begitu, yang mengherankan adalah, anak-anak yang pada awalnya diberitahu akan ada ujian sudah banyak yang lupa daripada anak-anak yang hanya membaca bacaan tanpa diminta ikut ujian.
Dalam penelitian demi penelitian –di rumah, di sekolah, di tempat kerja- hasilnya serupa: orang-orang yang diizinkan untuk membuat keputusan mengenai cara mereka bersikap dapat bekerja lebih kompeten dan lebih efektif daripada mereka yang perilakunya dikendalikan dengan ketat dan dinilai oleh orang lain.
Banyak sekolah yang mencoba meningkatkan prestasi murid-murid-nya dengan cara menawarkan hadiah dan uang untuk mereka yang punya nilai bagus. Pikirkan sejenak ide ini! Bukankah seperti ini agak melenceng dari misi pembelajaran yang seharusnya terjadi? Belajar menjadi bukan sesuatu yang dipilih oleh seorang individu normal, namun berdasarkan ketertarikan akan hadiah, sertifikat dan penghargaan sebagai bintang kelas. Hal yang hampir mirip juga terjadi didunia kantor dan perusahaan.
Meskipun penghargaan yang dibuat untuk mempengaruhi perilaku orang bisa efektif dalam jangka pendek, namun penerapan yang berlanjut bisa menjadi kurang efektif untuk memunculkan perilaku yang diinginkan, pada kenyataannya malah bisa mencegah munculnya perilaku tersebut. Yang terjadi, sistem imbalan memfokuskan perhatian pada penghargaan dan bukan pada tugas awal. Mahasiswa mulai terfokus untuk menjaga nilai indeks kumulatifnya, berkonsentrasi untuk menulis makalah, mengerjakan praktikum yang akan memberikan nilai-nilai tinggi dan sekedar mencapai batas minimal untuk lulus mata kuliah. Begitu dia menerima nilai yang diinginkan atau begitu dia lulus ujian, apa yang dia pelajari cepat dilupakan untuk mempersiapkan mata kuliah berikutnya, ujian berikutnya, dan nilai berikutnya. Para pekerja yang mencari bonus-bonus perusahaan mulai terfokus untuk memaksimalkan penjualan dengan merusak kepuasan pelanggan, yang akan berujung pada penurunan penjualan dalam jangka panjang. Faktanya memang demikian, bukan? Cara-cara pemberian hadiah dan bonus mematikan tumbuhnya motivasi orisinil dari diri. Individu tidak diberi kesempatan untuk mengerti alasan perilaku yang diminta dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja sama secara sukarela. Motivasi diri memiliki dua komponen utama: keaslian dan otonomi. Yang dimaksud dengan keaslian, seseorang harus bertindak sesuai dengan diri mereka sendiri secara jujur dan bukan hanya sekedar menginternalisasikan nilai-nilai orang lain. Yang dimaksud dengan otonomi adalah individu harus mengendalikan perilakunya sendiri, memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap. Secara praktis kedua komponen ini dapat diterapkan dengan menggunakan apa yang disebut dengan tiga C: content (isi), collaboration (kerjasama), dan choice (pilihan). –tiga C itu bukan cemen,culun, dan cengeng– Jadi pada tahap awal, individu diajak untuk mengerti content (isi) dalam arti tujuan, sasaran atau obyektif suatu pelajaran atau suatu pekerjaan. Lalu dijelaskan tentang pentingnya collaboration (kerjasama) untuk mencapai tujuan tersebut dengan tidak membatasi atau menutup pilihan-pilihan (choice) alternatif mengenai bagaimana cara mencapai sasaran tersebut serta menimbang pilihan mana yang paling efektif dan efisien. Dari sini kreatifitas menemukan ruang aktualisasi yang lebih lebar.
Dengan cara ini, dosen, guru, professor, manager, atasan, direktur, mengambil porsi peranan yang lebih besar sebagai mitra kerja tanpa mengurangi peran kepemimpinannya dalam mengambil keputusan. Dalam lingkup cara mendidik, pendidikan tanpa sekolah membuka peluang lebar-lebar dalam menumbuhkan motivasi diri, sementara sekolah konvensional cenderung kurang membuka peluang tersebut. Wallahu’alam bishawab. Komunikasi pada anak
Anak menangkap pesan kekerasan melalui komunikasi yang dibangun lingkungannya setiap hari. Perlahan tapi pasti, komunikasi dengan kekerasan akan merusak fitrah anak yang penuh dengan kelembutan. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit diatur, pembangkang, dan keras hati.
"Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" Ibu Dewi memelototi Firman (5 tahun) yang tidak mau membuka mulutnya untuk memakan sayur sop. "Ayo makan sop ini, kalau tidak Mama pukul!" Namun, Firman tak juga menurut. Ia malah lari ke kamar dan membanting pintu.
Perekat keluarga
Menurut Ery Soekresno, Psi, Pengelola Sekolah Kebon Maen, Cilangkap-Cimanggis-Depok, komunikasi adalah hal yang sangat penting dalam keluarga. Menurutnya, komunikasi berfungsi sebagai perekat keluarga. Ery mencontohkan, berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1996, faktor penyebab tingginya angka perceraian di Amerika ternyata bukan disebabkan kehadiran orang ketiga. Karena di mata masyarakat Amerika umumnya, perzinahan sudah dianggap halal. Namun, penyebab yang tertinggi adalah faktor terhambatnya komunikasi suami istri. Komunikasi yang tidak lancar antara suami istri akan berdampak pula terhadap kelancaran komunikasi pada anak.
Komunikasi antara orang tua dan anak adalah sebuah proses pengiriman pesan dimana pesan yang diterima sama dengan pesan yang dikirim. Komunikasi dengan kekerasan, menurut Ery adalah, penyampaian pesan yang dilakukan secara negatif. Termasuk dalam komunikasi secara negatif adalah saat orangtua menggunakan bahasa yang tidak indah. "Bahasa yang jelek tidak menyenangkan anak, akibatnya anak tidak mau mendengarkan orangtua," tutur psikolog yang aktif menyerukan kampanye komunikasi tanpa kekerasan ini.
Komunikasi dengan kekerasan tidak melulu berarti disampaikan dengan bahasa-bahasa yang tidak baik, seperti penggunaan kata yang berasal dari ‘kebun binatang’ atau kata hinaan lainnya. Penggunaan kata seperti yang diungkapkan Ibu Dewi, "Kamu ini kok sama sekali tidak pernah bersyukur sih!" juga bermasalah. Coba ditimbang secara jujur, betulkah ungkapan itu? Selain menggunakan kata ‘samasekali’, ditambah pula kata ‘tidakpernah’. Artinya: tidak pernah sama sekali! Padahal, sang anak toh hanya kadang-kadang saja berbuat seperti itu. Bahasa bernuansa ‘kekerasan’ ini juga diperkuat dengan bahasa non verbalnya, yaitu nada bicara yang tinggi, mata melotot, dengan tangan yang sudah terangkat untuk memukul.
Verbal dan non verbal
Ada dua bentuk komunikasi, yaitu verbal (bahasa) dan non-verbal (bahasa tubuh). Artinya, saat orangtua berbicara kepada anak, bukan hanya kata-katanya saja yang ditangkap oleh anak. Menurut Ery, di bawah usia satu tahun, mungkin mereka hanya menangkap 10% kata yang diucapkan ibu. Sisanya lebih kepada bahasa non-verbal.
Ery mencontohkan, saat bayi berbicara dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Misalnya bah, bah, bah. Kebetulan ibu ini membahasakan bapaknya itu abah. Ibu memberikan respon sambil menunjuk pada suaminya atau menunjukkan fotonya, "Oh Abah ya, Abah. Ya, itu Abah."Artinya, anak itu memahami sebuah kata itu kan dari bahasa non verbal karena setiap kali dia ngomong bah, bah, bah kok yang ditunjuk orang itu. Akhirnya kata itu memiliki arti bagi dirinya. Meskipun saat itu anak belum mengerti betul tentang siapa sebenarnya Abah.
Menurut Ery, orangtua perlu terus menyadari bahwa bahasa non-verbal yang dipakainya sangat penting bagi anak. Meski bahasa yang digunakan orangtua positif, namun bila komunikasi non-verbalnya negatif, maka pesan yang diterima anak adalah seperti yang ia lihat. Misalnya, seorang ibu mengatakan pada anaknya, "Ibu tuh sebenarnya sayang sama kamu,” tapi intonasinya yang tinggi atau dilakukan sambil mencubit anak. Tak salah bila anak akan berpikir, "Oh sayang itu artinya sama dengan mencubit ya." Akhirnya, saat bertemu dengan sepupu, adik atau temannya atau dia dengan adiknya dia menyampaikan sayangnya dengan mencubit. "Padahal seharusnya menyampaikan rasa sayang harus diiringi dengan pelukan dan suara yang lembut agar anak mampu menangkap pesan yang disampaikan dengan benar," jelas istri dari Irwan Rinaldi ini.
Dampak komunikasi dengan kekerasan
Dampak dari komunikasi dengan kekerasan terhadap anak-anak adalah hilangnya fitrah kelembutan. Berdasarkan pengalamannya, anak yang terbiasa dengan kekerasan, sejak kecil sudah terlihat. Karena terbiasa dengan kekerasan, ia pun akan membutuhkannya setiap kali akan melakukan sesuatu. Hal itu terjadi karena fitrah kelembutannya sudah melemah.
Komunikasi dengan kekerasan juga akan membuat anak tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Ery mencontohkan adegan yang terjadi pada sebuah keluarga saat mereka menanti datangnya waktu maghrib untuk berbuka puasa. Di hari pertama, ibu menyediakan menu lengkap, ada kue, es kelapa, gorengan, disamping menu utama hari itu. Di hari kedua, sang ibu tidak menyediakan gorengan dalam deretan menu berbuka. Namun, ia menggantikannya dengan makanan kesukaan anak-anak yang lain, yaitu puding karamel. Anaknya yang berusia 5 tahun berkomentar, "Mi, kok hari ini nggak ada gorengan?" Sang Ibu, yang kebetulan masih sibuk dengan urusan dapur langsung bereaksi dengan melakukan interpretasi dan evaluasi. " Kamu ini kok nggak bersyukur banget sih?" Anak yang semula hanya sekedar berkomentar tentu menjadi takut untuk menyampaikan komentar pada kesepatan lain. Apalagi bila hal seperti itu terjadi berulang kali.Lebih berbahaya lagi, menurut Ery, bila anak menjadi terbiasa melakukan pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Bila orangtua tidak segera mengubah cara berkomunikasinya, maka dampak itu akan terpelihara sampai anak tumbuh dewasa.
Dampak lainnya adalah menjadi terbiasa berpikir negatif. Artinya, ketika ada orang bermaksud baik terhadap anak, dia tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya, anak akan berpikir, "Apa sih maksudnya kamu berbuat baik sama aku?" Menurut Ery, hal itu terjadi karena orangtua terbiasa berpikir negatif terhadap dirinya yang terwujud dengan komunikasi yang negatif. Akhirnya, yang terbangun dalam benak anak adalah apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar.
Misalnya, saat seorang anak sedang duduk-duduk di dalam rumah sementara ibunya sedang menyapu lantai. Sang Ibu mengatakan "Aduh Kakak, tidur-tiduran aja, enggak mau membantu ibu nyapu," Sebaliknya, saat sang anak sedang menyapu lantai, Ibu berkomentar, "Wah tumben nih anak ibu nyapu." Komentar seperti itu akan membuat anak menjadi tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan karena menjadi serba salah.
Komunikasi yang baik saat ibu sedang menyapu sementara anaknya sedang tidur-tiduran adalah "Ibu seneng deh kalau kakak mau membantu Ibu nyapu. Kalau kakak membantu Ibu pekerjaan rumah ibu cepat selesai. Habis itu kita bisa bermain dan cerita-cerita". Pesan akan sampai tanpa perlu menyakiti perasaan anak. Anak pun menjadi lebih mudah diajak bekerjasama. Saat anak sedang menyapu, seharusnya Ibu menyampaikan penghargaannya dengan pesan yang positif, tanpa perlu menyindir anak.
Menurut Ery, faktor pembentuk utama dan pertama adalah keluarga. Bila rumah sudah berfungsi sebagai tempat yang memberikan kesejukan untuk anak-anak, maka ke mana pun anak pergi, rumah tetap menjadi referensi utama bagi anak. Kesejukan itulah yang perlu dibangun oleh orangtua melalui komunikasi tanpa kekerasan. Saat anak memiliki masalah, mereka tahu kemana harus berbicara. Saat yang paling berpengaruh bagi anak adalah sebelum anak mencapai usia balighnya karena pada masa itu anak masih mudah untuk berubah. Namun, perubahan yang paling utama dan pertama harus berawal dari para orangtua. Wallahu’alam
Nasehat dan kelembutan
Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami ketika kita berada dalam posisi sebagai pemberi nasehat. Pertama, hal penting yang perlu diperhatikan dalam menasehati saudara kita adalah masalah niat. Sampaikanlah nasehat semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan keduniawian atau nafsu dan hasrat pribadi. Dengan begitu, kita tidak perlu berkecil hati bila nasehat kita tidak diterima dengan baik. Anggaplah respon negatif tersebut sebagai ujian kesabaran. Pengalaman mengajarkan, orang-orang yang kecewa –sekalipun karena nasehat yang terbuka dan korektif- pada waktunya akan menghargai dan berterimakasih dalam hati mereka. Mengapa berkecil hati, bukankah nasehat itu ibarat pohon kebaikan yang kita tanam dan kita tidak tahu kapan akan tumbuh dan berbuah (QS. Al-A’raf:164).
Kedua, agar sebuah nasehat efektif, tunjukkanlah cinta, kasih sayang dan keikhlasan saat memberi nasehat. Hindari nada bicara yang menunjukan kebanggaan, celaan, olok-olok atau cemoohan. (QS. Al-Hujurat:11)
Ketiga, masalah pemilihan waktu yang tepat, perlu juga diperhatikan. Akhlak Islam menuntut kita menyampaikan nasehat secara pribadi, bukan di depan khalayak ramai, untuk menghindari timbulnya perasaan yang tidak baik. Tujuan nasehat adalah memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan kekurangan seseorang, bukan mengumumkan dan mensosialisasikan kesalahannya.
Keempat, bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan perkataan dan memilih suasana emosi yang tepat. Kita tidak boleh tersinggung atau kecewa jika nasehat kita tidak berpengaruh bagi orang lain. Mungkin semua itu membutuhkan waktu.
Kelima, jauhi pertentangan yang sia-sia. Adakalanya, pendapat kita salah dan pendapat orang yang kita beri nasehat itu benar. Dalam situasi ini, ubahlah tindakan memberi nasehat menjadi ajang bertukar pikiran dengan penuh persaudaraan. Ingatlah, tanggung jawab kita hanyalah memberi nasehat, bukan hidayah. Sebuah nasehat tak akan bermanfaat kecuali hanya dengan izin-Nya dan bergantung pula pada kadar keimanan penerima nasehat. Allah Swt berfirman, ”dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Keenam, jadilah cermin yang detil dengan memberi informasi yang lebih spesifik. Misalnya nasehat tentang kebersihan masih bersifat global dan umum. Agar saudara kita menyadari masalahnya, sebutkan hal yang spesifik, misalnya nafas yang kurang sedap atau pakai yang kumal.
Dalam manajemen nasehat diperlukan kepekaan dan kearifan yang tinggi agar mencapai hasil optimal (QS. An-Nahl:125). Presiden Lincoln, lebih dari seratus tahun yang lalu, berkata, ”Orang lebih mudah menangkap lalat dengan sirop daripada dengan cuka.” Sesungguhnya ajaran Islam telah lebih dulu menganjurkan umatnya agar ‘menangkap orang’ dengan keramah-tamahan yang manis, bukan dengan gertakan-gertakan yang kecut, sekalipun terhadap anak dan orang kesayangan yang paling dekat. Ini misteri hati yang sangat lemah dan rapuh dalam menghadapi kelembutan.
Allah Swt membekali Nabi Muhammad Saw dengan sifat kelembutan untuk berdakwah menghadapi umatnya (QS. Ali-Imran: 159). Itulah sebabnya dalam beberapa kisah, seringkali orang-orang yang diberikan nasehat oleh Nabi Saw meresponnya sambil mengungkapkan perasaan bahwa orang itu mencintai nabi. Sungguh ini bukan sekedar buah dari nasehat yang berlogika tajam dan cerdas, melainkan nasehat itu bersandar pada sifat kelemah-lembutan yang bisa langsung menyentuh dasar hati penerima nasehat.
Pelajaran ini, insya Allah membuka mata dan kesadaran kita akan dampak dari pemberian nasehat berbobot yang disampaikan dengan penuh kelembutan. Bila hal ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang-ulang, tanpa disadari, diantara pemberi dan penerima nasehat, akan tumbuh jalinan ikatan kasih sayang maupun persaudaraan yang semakin kuat.
Sejauh ini, bila interaksi nasehat menasehati terjadi diantara sesama laki-laki, maupun sesama wanita, dampak dari sikap lembut dan ramah selalu bernilai positif. Akan tetapi, fakta lapangan seringkali menunjukkan hal yang ’negatif’ bila aktifitas saling menasehati terjadi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedekatan yang berawal dari motivasi yang ikhlas perlahan-lahan terkontaminasi oleh rasa ketertarikan yang berhembus dari nafsu dan hasrat pribadi. Nasehat yang mulanya mengalir tulus tanpa mengharapkan sesuatu kecuali ingin memperbaiki kekurangan saudaranya, sedikit demi sedikit bergeser menjadi pengharapan akan penerimaan yang lebih dalam. Perhatian yang berlebihan (dalam konotasi negatif) dan rasa ingin selalu dekat selalu bercampur dengan semangat keikhlasan saat ingin memberikan nasehat. Ketergantungan seketika tercipta, seolah-olah hanya sang penasehat yang mampu menasehati dirinya. Lebih jauh lagi, pengakuan verbal sebagai satu-satunya penasehat spiritual acapkali mendorong keinginan untuk memberikan ’wewenang’ tambahan kepada sang penasehat agar mau berperan lebih yaitu sebagai penasehat pribadi dalam rumah tangga.
Kita tidak hendak membahas pro dan kontra dari akibat aktifitas saling menasehati antara lawan jenis, kecuali sekedar menunjukkan benang merah hubungan sebab akibat antara sikap lembut dalam menasehati dan hasrat ketertarikan dari dorongan nafsu manusiawi. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kita membutuhkan persiapan dan kewaspadaan ekstra di dalam hati ketika memutuskan untuk terjun dalam wilayah saling menasehati kepada seseorang (dakwah fardiyah) yang berbeda jenis dengan kita. Tanpa kematangan dan kekokohan spiritual yang mantab, sebaiknya urungkan niat anda untuk masuk terlalu dalam ke wilayah ini. Yang pasti, syetan selalu mengintai dan berupaya mencari celah-celah kelalaian dan kelengahan dalam semua aktifitas amal sholeh yang dilakukan oleh setiap hamba Allah. Semoga Allah Swt selalu melindungi kita semua dari godaan syetan yang terkutuk. Wallahu’alam bishawab.
Pola asuh anak
Ada 3 Macam Pola asuh yang selama ini digunakan dalam masyarakat yakni Pola Asuh Koersif, Pola Asuh Permisif dan Pola Asuh dialogis.
Pola -pola Asuh ini tidak pernah lepas dari konteks sosial suatu masyarakat. Dan bahkan tingkah laku anak hanya dapat dipahami dengan konteks sosialnya.
Ketiga bentuk pola asuh ini datang silih berganti, sejarahnya sudah 8000 tahun. Kadang-kadang koersif lebih dominan, lalu menyusul permisif kemudian datanglah dialogis untuk mengembalikan manusia ke jalan para nabi dan Rasul .
Pola Asuh Koersif berasal dari satu fase masyarakat otokratis. Suatu masyarakat yang meyakini bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengatur perilaku kelompok lain( yang inverior) karena merasa memiliki superioritas .
Sebagian besar kita para orang tua mewarisi pola Asuh yang kita dapatkan secara turun temurun dari orang tua kita.
Lalu sering kali timbul dalam benak kita, dulu orang tua kita menggunakan pola Asuh koersif dan ternyata mereka berhasil menghantarkan kita seperti apa yang kita rasakan saat ini. Namun pada saat kita mencoba menerapkan persis apa yang telah orang tua kita polakan kepada kita kenapa yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan ?
Ternyata penyebabnya adalah karena telah terjadi pergeseran nilai tatanan dalam masyarakat tempat anak-anak kita dibesarkan yang ternyata jauh berbeda dengan masyarakat tempat dahulu kita dan orang tua kita dibesarkan.
Dahulu masyarakat berada pada fase otokrasi sedang sekarang sudah cenderung kepada fase permisif, sehingga banyak orang tua dibuat tak berdaya oleh anak-anak mereka yang beberapa tahun lalu masih nunut saja dengan keinginan mereka, sekarang sudah mahir untuk membrontak dan lebih-lebih lagi mereka dilindungi oleh undang-undang.
1. Pola Asuh Koersif : tertib tanpa kebebasan
Pola Asuh koersif hanya mengenal Hukuman dan Pujian dalam berinteraksi dengan anak. Pujian akan diberikan mana kala anak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua. Sedangkan hukuman akan diberikan manakala anak tidak melakukan sesuai dengan keinginan orang tua.
Akibat penerapan pola asuh koersif ini akan muncul empat tujuan anak berperilaku negatif yakni :
Mencari perhatian, Unjuk kekuasaan , Pembalasan dan Penarikan diri.
Ketika seorang anak dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan keinginan orang tua dan dengan cara yang dikehendaki olah orang tua maka anak akan kembali menuntut orang tuanya untuk memberikan perhatian atau pujian kepadanya. Sebaliknya jika anak tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya maka dia akan merasa hidupnya tidak berharga maka dia akan menarik dirinya dari kehidupan.
Pada saat orang tua menghukum anak karena anak tidak mematuhi keinginannya maka anak akan belajar untuk mencari kekuasaan karena dia merasakan bahwa karena dia tidak memiliki kekuasaanlah dia jadi terhina, jika dia tidak mendapatkan kekuasaan tersebut maka dia akan menanti-nanti saat yang tepat baginya untuk membalasi semua perilaku tak enak yang dia terima selama ini.
Orang tua yang koersif beranggapan bahwa mereka dapat merubah perilaku anak yang tidak sesuai dengan nilai yang mereka anut dengan cara mencongkel perilaku itu lalu menggantikannya dengan perilaku yang mereka kehendaki tanpa memperdulikan perasaan anaknya.
2. Pola Asuh Permisif : bebas tanpa ketertiban.
Pola asuh ini muncul karena adanya kesenjangan atas pola asuh. Orang tua merasa bahwa pola asuh koersif tidak sesuai dengan kebutuhan fitrah manusia, sebagai pengambil keputusan yang aktif, penuh arti dan berorientasi pada tujuan dan memiliki derajat kebebasan untuk menentukan perilakunya sendiri. Namun disisi lain orang tua tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap putra putir mereka, sehingga mereka menyerahkan begitu saja pengasuhan anak-anak mereka kepada masyarakat dan media masa yang ada. Sambil berharap suatu saat akan terjadi keajaiban yang datang untuk menyulap anak-anak mereka sehingga menjadi pribadi yang soleh dan sholehah.
Di satu sisi orang tua tidak tahu apa yang baik untuk anaknya, disisi yang lain anak menafsirkan ketidak berdayaan orang tua mereka dengan "orang tua tidak punya pengharapan terhadap mereka."
Akibatnya anak akan terjebak kepada gaya hidup yang serba boleh persis tepat dan sesuai dengan pola yang berlaku pada masyarakat tempat dia dibesarkan saat ini. Di satu sisi orang tua akan selalu menanggung semua akibat perilaku anaknya tanpa mereka sendiri menyadari hal ini.
3. Pola Asuh Dialogis : tertib dengan kebebasan.
Pola Asuh ini datang sebagai jawaban atas ketiadaannya pola asuh yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia . Dia merupakan pola asuh yang diwajibkan oleh Allah swt terhadap para utusannya. Berpijak kepada dorongan dan konsekuensi dalam membangun dan memelihara fitrah anak. orang tua menyadari bahwa anak adalah amanah Allah swt pada mereka dia merupakan makhluk yang aktif dan dinamis. Aktivitas mereka bertujuan agar mereka dapat diakui keberadaannya, diterima kontribusinya dan dicintai dan dimiliki oleh keluarganya.
Dalam memperbaiki kesalahan ,anak orang tua menyadari bahwa kesalah itu muncul karena mereka belum trampil dalam melakukan kebaikan, sehingga mereka akan mencoba untuk membangun ketrampilan tersebut dengan berpijak kepada kelebihan yang anak miliki, lalu mencoba untuk memperkecil hambatan yang mebuat anak berkecil hati untuk memulai kegiatan yang akan menghantarkan mereka kepada kebaikan tersebut. Lalu juga orang tua akan berusaha menerima keadaan anak apa adanya tanpa membanding-bandingkan mereka dengan orang lain atau bahkan saudara kandung mereka sendiri, atau teman bermainnya.
Orang tua akan membiasakan diri berdialog dengan anak dalam menemani pertumbuh -kembangan anak mereka. setiap kali ada persoalan anak dilatih untuk mencari akar persoalan, lalu diarahkan untuk ikut menyelesaikan secara bersama.
Dengan demikian anak akan merasakan bahwa hidupnya penuh arti sehingga dengan lapang dada dia akan merujuk kepada orang tuanya jika dia mempunyai persoalan dalam kehidupannya. Yang berarti pula orang tua dapat ikut bersama anak untuk mengantisipasi bahaya yang mengintai kehidupan anak-anak setiap saat.
Selain itu orang tua yang dialogis akan mebrusaha mengajak anak agar terbiasa menerima konsekuensi secara logis dalam setiap tindakannya. sehingga anak akan menghindari keburukan karena dia sendiri merasakan akibat perbuatan buruk itu, bukan karena desakan dari orang tuanya.
Kutanam Sekarang Untuk AnakKu
Kita tidak akan pernah lepas dari perbincangan dunia pendidikan. Namun kita akan terlepas jika tidak dikendalikan. Hal itu terutama akan berpengaruh kepada masa depan sang buah hati. Untuk mengendalikannya tentu kita harus pikirkan mulai sekarang saat dimana sang buah hati lahir ke dunia. Ini juga berkaitan dengan sisi perekonomian keluarga. Orang tua yang bijak sudah pasti mempunyai pemikiran ke arah itu. Masa depan anak tidak dimulai sejak dia masuk TK ataupun SD, tetapi masa depan itu harus dimulai sejak dia dilahirkan. Apa yang harus dilakukan oleh orang tua? Yang paling pertama dan utama apa yang harus orang tua pikirkan dan persiapkan untuk pendidikan anak nanti? Saya mempunyai sebuah motto : "Kutanam Sekarang Untuk AnakKu" Motto itu dimaksudkan agar orang tua menyadari akan pentingnya pendidikan anak yang harus terpenuhi. Dan bagaimana memenuhinya? Ingat, banyak sekali produk-produk Asuransi dan perbankan diantaranya Tabungan dan Deposito yang menawarkan berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan. Salah satunya Asuransi Pendidikan dan Tabungan Pendidikan. Kenapa orang tua tidak berpikir ke arah itu? Mungkin banyak orang tua yang mempunyai alasan-alasan tersendiri seperti : Tidak sempat alias tidak punyai waktu, tidak punya rekening sebelumnya, tidak mengerti, tidak punya penghasilan tetap. Alasan-alasan seperti ini sudah jelas berkaitan dengan waktu dan kondisi perekonomian keluarga. Yang jelas kebijakan ada ditangan orang tua. Harapan masa depan anak ada ditangan orang tua. Perkembangan pola pikir anak ada juga ditangan orang tua. Jadi, Jika orang tua terus berasalan, siapa yang akan bertanggung jawab? |
Ajari si Kecil Menghargai Perbedaan
Lewat kata dan perbuatan, Anda dapat mengajarjkan pada anak-anak tentang empati dan pentingnya menghargai orang lain, terlepas dari semua perbedaan yang ada. Jika dulu ukuran kecerdasan anak kerap merujuk pada IQ (Intelligent Quotient), maka kini banyak ahli menekankan pentingnya membangun EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Seocial Quotient), sebagai modal keberhasilan anak. Kemampuan berinteraksi dengan berbagai kalangan adalah salah satu ketrampilan sosial yang berperan penting dalam mendorong seorang anak untuk berempati, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang lain. Semua kemampuan tadi tentu sangat diperlukan kelak saat ia dewasa dan masuk dalam dunia kerja dan lingkungan sosial. Membangun kemampuan berinteraksi dan saling menghormati dengan orang dari berbagai kalangan tidak dapat dilakukan secara instan maupun dipelajari lewat nasihat semata. Anak-anak memerlukan contoh yang nyata. Sebagai orang tua, Anda biasanya menjadi role model utama bagi si Kecil. Anak-anak telah menyadari adanya perbedaan sejak usia sangat muda, meski orang dewasa di sekitarnya tidak pernah membicarakannya. Meski menyadari adanya perbedaan, namun mereka belum memahami apa arti perbedaan tersebut. Dari orang-orang dewasa di sekitarnya ia belajar tentang arti dan sikap dalam menghadapi perbedaan. Diane Maluso, Associate Professor of Psychology di Elmira College, juga menekankan pentingnya peran orang tua tersebut. “Anak-anak bekajar tentang sikap orang tua terhadap orang lain dari cara orang tuanya berinteraksi dan dengan ungkapan-ungapan yang dilontarkan mengenai orang lain”, paparnya. Lewat sikap serta bahasa yang digunakan orang tuanya terhadap orang lain, anak-anak belajar tentang konsep diri dan relasinya dengan orang lain. Jika Anda memiliki hubungan baik serta menunjukkan rasa hormat pada orang yang berbeda baik secara fisik, gender, sosial maupun ekonomi maka anak akan belajar bahwa semua perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan. Namun kalau anda justru kerap meremehkan atau berbicara dengan tidak sopan pada orang-orang tertentu, jangan heran jika si Kecil pun akan melakukan hal yang sama. Contoh paling sederhana, ingat-ingatlah cara memperlakukan pembantu rumah tangga dan supir di rumah. Kalau Anda kerap berbicara dengan nada memerintah dan meremehkan, siap-siap saja mendengar hal yang sama keluar dari mulut si Kecil. Pada usia Sekolah Dasar, pemahaman anak akan status sosial dirinya serta teman-temannya juga makin meningkat dan mendorong terbentuknya sikap-sikap tertentu yang berkaitan dengan status sosialnya. Namun begitu, pada usia ini sikap egosentris anak-anak juga telah berkurang dibanding usia balita hingga mereka mulai mampu memfokuskan diri pada kualitas internal seperti kebaikan dan keburukan seseorang, dibandingkan perbedaan eksternal seperti perbedaan ras maupun kelas sosial. Pada tahap ini, lagi-lagi orang tua sangat berperan dalam mendorong anak-anaknya untuk mengeksplorasi perbedaan yang ada, memberikan penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan mereka, dan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang membuka ruang berinteraksi dengan berbagai kalangan. Berikut beberapa tips untuk mendorong anak-anak agar menghargai dan tidak membeda-bedakan orang dari berbagai kalangan:
|
Tanda Kesiapan Toilet Training
Ditulis oleh Administrator |
"Duuh udah 2 tahun kok masih ngompol terus..." Begitu mungkin yg ada dalam pikiran kita sebagai orang tua, nah berikut ini adalah tanda-tanda kesiapan anak untuk toilet training:
|
Pendidikan Anak
Ditulis oleh Administrator |
Sebagai orang tua kita ingin memberikan pendidikan yang terbaik pada anak-anak kita. Dan hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, memilihkan sekolah yang baik buat anak-anak kita. Saat memasukan anak-anak kita ke playgroup berbeda dengan TK, karena yang diutamakan adalah beradaptasi/sosialisasi dengan teman sebayanya disamping ada tujuan lain diantaranya :
Saat anak memasuki sekolah yang lebih tinggi SD, SMP, SMA pertimbangan mutu sekolah, disiplin sangat diutamakan, kemudian kita berpikir untuk memasukan anak-anak kita pada sekolah swasta sesuai dengan agama atau pertimbangan lainya. Sekolah swasta memiliki fasilitas lebih dari sekolah negeri, dan guru yang selalu membimbing, mengarahkan dapat mudah ditemui, dengan bayaran yang tinggi sekolah swasta hanya dapat dinikmati golongan tertentu yang akhirnya tidak ada perbedaan yang mencolok. Berbeda dengan sekolah negeri yang miskin akan fasilitas, guru yang terkadang tidak ditempat, sehingga murid "dipaksa" untuk mampu mandiri dan belajar sendiri, dan banyak keanekaragaman murid. Kebanyakan dan disadari atau tidak, memilih sekolah terkadang merupakan obsesi dari orang tua & rasa cinta Almamater. Pendidikan anak bukan hanya disekolah saja, tetapi dirumah dan di masyarakat sekitar kita. Sebagai orangtua hanya berusaha membangun fondasi yang kuat untuk mereka termasuk mental-spiritual dan kita harus dapat menjadi teladan yang baik untuk anak kita. Sebagai orangtua sebaiknya tidak hanya memikirkan IQ anak saja tetapi kita berusaha membentuk keseimbangan antara IQ dan EQ (kecerdasan emosional seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungan), karena dengan EQ tinggi anak diharapkan dapat survive dalam segala masalah hidup walaupun anak itu hanya memiliki IQ yg rendah, dia mampu menghadapai kegagalan dan belajar mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut. Pada seseorang yang memiliki EQ rendah sedangkan berIQ tinggi, atau di atas rata - rata akan mempunyai kecendrungan untuk sulit menguasai emosi. Apapun usaha dan harapan orangtua pada anak hrus diingat bahwa itu adalah kehidupan anak bukan milik kita, maksud kita ingin anak kreatif dan mandir tetapi sudah ngatur semua masa depannya. |
Melatih Bayi Membaca
Ditulis oleh Administrator |
Mungkinkah melatih anak usia dibawah 2 tahun untuk membaca? Jika itu pertanyaan yang muncul dalam benak anda, dengan metode yang diciptakan oleh Glenn Doman, anda dapat mengajarkan membaca kepada anak anda dengan lebih cepat. Seperti yang diungkapkan oleh Irene F. Mongkar, pemerhati anak dan praktisi metode Glenn Doman “Pada usia 11 bulan anak saya bisa membaca 87 kata, selanjutnya pada usia 3 tahun sudah membaca buku. Saat berusia 5 tahun, sudah membaca buku Lima Sekawan,” ungkap Irene F. Mongkar. Beberapa bulan sebelum anaknya lahir, sekitar 13 tahun lalu, Irene mendapat buku karya Glenn Doman “Bagaimana Mengajar Bayi Membaca”. Buku yang sama telah dibaca dan dipraktikkan rekannya di Surabaya. Pada usia 18 bulan, anak sahabatnya itu sudah membaca judul-judul koran. Setelah anaknya lahir, Irene mempraktikkan teori Glenn Doman. Saat usia bayinya 11 bulan, ternyata semua kata yang pernah dibacakan sejak ia usia 3 bulan, berhasil. Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia dari semua makhluk hidup di dunia ini, cuma manusia yang dapat membaca. Membaca merupakan fungsi yang paling penting dalam hidup dan dapat dikatakan bahwa semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Anak-anak dapat membaca sebuah kata ketika usia mereka satu tahun, sebuah kalimat ketika berusia dua tahun, dan sebuah buku ketika berusia tiga tahun dan mereka menyukainya. Tahun 1961 satu tim ahli dunia yang terdiri atas, dokter, spesialis membaca, ahli bedah otak dan psikolog mengadakan penelitian “Bagaimana otak anak-anak berkembang?”. Hal ini kemudian berkembang menjadi satu informasi yang mengejutkan mengenai bagaimana anak-anak belajar, apa yang dipelajari anak-anak, dan apa yang bisa dipelajari anak-anak. Hasil penelitian juga mendapatkan, ternyata anak yang cedera otak-pun dapat membaca dengan baik pada usia tiga tahun atau lebih muda lagi. Jelaslah bahwa ada sesuatu yang salah pada apa yang sedang terjadi, pada anak-anak sehat, jika di usia ini belum bisa membaca. Penelitian tentang Otak Anak Bagi otak tidak ada bedanya apakah dia ‘melihat’ atau ‘mendengar’ sesuatu. Otak dapat mengerti keduanya dengan baik. Yang dibutuhkan adalah suara itu cukup kuat dan cukup jelas untuk didengar telinga, dan perkataan itu cukup besar dan cukup jelas untuk dilihat mata sehingga otak dapat menafsirkan. Kalau telinga menerima rangsang suara, baik sepatah kata atau pesan lisan, maka pesan pendengaran ini diuraikan menjadi serentetan impuls-impuls elektrokimia dan diteruskan ke otak yang bisa melihat untuk disusun dan diartikan menjadi kata-kata yang dapat dipahami. Begitu pula kalau mata melihat sebuah kata atau pesan tertulis. Pesan visual ini diuraikan menjadi serentetan impuls elektrokimia dan diteruskan ke otak yang tidak dapat melihat, untuk disusun kembali dan dipahami. Baik jalur penglihatan maupun jalur pendengaran sama-sama menuju ke otak dimana kedua pesan ditafsirkan otak dengan proses yang sama. Dua faktor yang sangat penting dalam mengajar anak: 1. Sikap dan pendekatan orang tua Syarat terpenting adalah, bahwa diantara orang tua dan anak harus ada pendekatan yang menyenangkan, karena belajar membaca merupakan permainan yang bagus sekali. Tekankan pada anak anda Belajar adalah: - Hadiah, bukan hukuman - Permainan yang paling menggairahkan, bukan bekerja - Bersenang-senang, bukan bersusah payah - Suatu kehormatan, bukan kehinaan 2. Membatasi waktu untuk melakukan permainan ini sehingga betul-betul singkat. Hentikan permainan ini sebelum anak itu sendiri ingin menghentikannya. Karena apabila anak bosan, dia tidak akan tertarik lagi dengan hal tersebut, sehingga mempersulit kita untuk mengajak anak bermain. Tahap-tahap mengajar: TAHAP PERTAMA : Mengajarkan anak anda membaca dimulai menggunakan hanya lima belas kata saja. Jika anak anda sudah mempelajari 15 kata ini, dia sudah siap untuk melangkah ke perbendaharaan kata-kata lain. Cukup bikin semacam flash card, berisi kata. Bahan yang digunakan :
Hari Pertama Gunakan tempat bagian rumah yang paling sedikit terdapat benda-benda yang dapat mengalihkan perhatian, baik pendengarannya maupun penglihatannya. Misalnya, jangan ada radio yang dibunyikan.
Hari Ketujuh Beri kesempatan pada anak untuk memperlihatkan kemajuannya:
Kebosanan adalah satu-satunya ancaman. Jangan sampai anak menjadi bosan. “Mengajarnya terlalu lambat akan lebih cepat membuatnya bosan daripada mengajarnya terlalu cepat” Pada tahap pertama ini, dua hal luar biasa telah anda lakukan:
Kita mulai mengajarkan anak membaca dengan menggunakan kata-kata ‘diri’ karena anak memang mula-mula mempelajari badannya sendiri.
Sampai tahap ini, baik orang tua maupun anak harus melakukan permainan membaca ini dengan kesenangan dan minat besar. Ingatlah bahwa anda sedang menanamkan cinta belajar dalam diri anak anda, dan kecintaan ini akan berkembang terus sepanjang hidupnya. Lakukan permainan ini dengan gembira dan penuh semangat.
1. Pilihkan buku sederhana dengan syarat :
Sekarang anda sudah mempunyai kartu-kartu dengan kata-kata yang ada dalam setiap halaman buku yang akan dibaca anak. Lubangi sisi kartu-kartu untuk dijilid menjadi sebuah buku yang isinya sama namun ukurannya lebih besar. 3. Bacakan kartu demi kartu pelan-pelan, sehingga anak belajar kalimat demi kalimat. 4. Bacakan dengan ekspresi sesuai dengan kalimat bacaan. 5. Lakukan secara rutin, minimal 5 kartu sebanyak 3 kali selama 5 hari. 6. Ketika membaca kartu pada hari lainnya, kartu yang lama sebaiknya diulang. Setelah selesai kartu-kartu dibaca, simpanlah beurutan di dalam sebuah map atau dibinding deperti buku. 7. Pada saat selesai 1 buku, berilah ijazah yg ditandatangani ibu, yg menyatakan bahwa pada hari ini, tanggal ini, pada usia anak sekian, telah selesai dibaca buku ini. TAHAP KEENAM : (susunan kata dalam kalimat) Pada tahap ini, anak sudah siap membaca buku yg sebenarnya, karena dia sudah 2 kali melakukan hal itu. Perbedaan ukuran huruf dari 5 cm (Tahap 4), 2,5 cm (Tahap 5) dan 5 mm (Tahap 6 ini) adalah sangat berarti khususnya bagi anak yang masih sangat muda, karena itu juga berarti anda membantu mendewasakan dan memperbaiki indera penglihatannya. Kunci Keberhasilan
Pada dasarnya anak memiliki kemampuan yang luar biasa, khususnya pada usia yg semakin kecil. Hanya diperlukan perhatian, kemauan,ketekunan serta yang utama kasih sayang orangtua untuk membuatnya mampu mengeluarkan potensinya yg luar biasa tsb. |
Langganan:
Postingan (Atom)